Mengunjungi Rumah Warisan Slamet Riyadi Penggagas Kopassus
Sumarti merupakan salah satu pemilik tanah dan rumah warisan itu. Pemilik lainnya adalah adiknya yang menetap di Jakarta.
"Jadi, setelah Pak Slamet meninggal, (tanah dan rumah) kemudian diwariskan ke ibu saya. Setelah ibu meninggal, diwariskan ke saya dan adik," katanya.
Menurut Sumarti, rumah peninggalan pamannya itu belum pernah direnovasi. Sejak rumah itu didirikan pada 1848, bentuk maupun atap dan bangunannya tak berubah.
Hanya warna tembok rumah saja yang sering dicat ulang. Sumarti mengaku tak memiliki biaya cukup untuk merenovasi rumah bersejarah yang pekarangannya luas itu.
Perempuan berkacamata tebal itu hanya mengandalkan pensiun suaminya yang jumlahnya pas-pasan. Dia baru memiliki penghasilan tambahan ketika ada instansi pemerintahan yang mengunjungi rumahnya.
Memang Kopassus maupun Rumah Sakit Slamet Riyadi Solo pernah mengecat rumah itu. "Sudah lama, ya ada jamur-jamur begini," kata Sumarti.
Namun, Sumarti juga harus membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) untuk tanah beserta rumahnya. Besarannya Rp 2,3 juta per tahun sehingga membebani Sumarti.
Menurut Sumarti, Dinas Sosial Solo pernah memberikan bantuan untuk renovasi makam Slamet Riyadi. Namun, belum ada bantuan dari Balai Pelestarian Cagar Budaya untuk merenovasi rumah yang berusia lebih dari 1,5 abad itu.