Menimba Ilmu dari Pikiran-pikiran Goenawan Mohamad
Background di Balik Berita dari Forum Pemred JP Group di Pekanbaru, Riau (7)jpnn.com - PENYAIR, sastrawan, jurnalis, penyunting, penulis “Catatan Pinggir” Majalah Tempo, Goenawan Mohamad turut berbagi pengalaman di Forum Pemred Jawa Pos Group di Pekanbaru, Riau itu. Dua jam penuh, pria yang tahun lalu, 29 Juli berulang tahun ke-70, dan dianggap ulang tahun terakhir, ---karena tahun-tahun ke depan dia akan mengaku 70 tahun itu— berbicara di hadapan 100 pemred dari 33 provinsi dari Aceh sampai Papua itu.
Pendiri dan mantan Pemimpin Redaksi Majalah Berita Tempo ini berkisah soal politik. Dia berbicara sebagai pengamat, pemerhati, pelaku, dan mungkin juga bagian dari korban politik. Sejak muda, Mas Goen ---sapaan akrab Goenawan Mohamad, lagi-lagi biar tetap terkesan awet muda--- sudah ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan, tahun 1964 yang membuat dia di-black list di berbagai media umum. Padahal, pekerjaan dia sejak usia belasan tahun adalah menulis.
“Kita sebagai wartawan, saya juga sebagai pengarang ini paham, sebetulnya yang dimaksud dengan politik itu bukanlah seperti yang sekarang dipraktikkan oleh partai-partai politik itu. Dalam sejarah Indonesia, politik itu perjuangan untuk perbaikan masyarakat, menuju kemerdekaan. Setelah itu untuk menjaga lembaga-lembaga sosial ekonomi untuk kesejahteraan rakyat,” kenang pria yang belajar psikologi di Universitas Indonesia, ilmu politik di Belgia, dan menjadi Nieman Fellow di Harvard University, AS itu.
Pada perkembangannya, kata dia, saat demokrasi terpimpin, politik masih bisa bernyawa, tetapi hidupnya dikekang. Partai-partai lebih bebas bergerak, daripada era Orde Baru. Zaman Presiden Soeharto, politik hanya untuk memenangkan Golkar dan memilih kembali Soeharto sebagai presiden. “Partai hanya memperjuangkan kedudukan, bukan memperjuangkan kepentingan rakyat. Partai hanyalah satelit. Hanya mengikuti induknya. Bahkan untuk menjadi pemimpin partai harus seizin presiden. Ini yang membuat partai kehilangan elannya, sebagai tempat mencari kader pemimpin bangsa,” tutur Mas Goen.
Dia mengibaratkan seperti monyet, yang bergantung ke atas, tangannya lebih panjang daripada kakinya. Bagaimana di era reformasi? “Semula, saya berharap ada perubahan yang sehat dan signifikan. Ternyata tidak. Tabiatnya sama saja. Tempat mencari uang. Akhirnya publik menilai, politik dianggap kotor dan tidak menarik. Politik terlalu banyak dinegosiasikan untuk kepentingan sementara dan pribadi. Politik dianggap sebagai cara mencari kepentingan,” lanjutnya.
:TERKAIT Mas Goen menyadari, dari pengalaman sejarah itu, politik selalu diawali dengan semangat yang menggebu-gebu. Misalnya, semangat untuk merdeka, berdemokrasi yang lebih sehat, ekonomi sehat, perjuangan hak asasi manusia, dan idealisme lain. Tapi, setelah diawali dengan menggebu-gebu itu, selalu antiklimaks dan terjadi kekecewaan. “Mungkin itu bagian dari perjalanan sejarah yang tak pernah henti. Karena dunia memang tidak ditakdirkan sebagai surga,” paparnya.
Dan itulah pentingnya demokrasi. “Demokrasi bukan menjanjikan sistem yang sempurna. Tidak ada sistem yang sempurna di dunia ini. Demokrasi itu hanyalah menjanjikan sistem yang bisa dikoreksi secara regular dan damai. Demokrasi tidak akan melahirkan pemimpin sempurna. Tetapi menghasilkan pemimpin yang bisa diganti dan dikoreksi. Demokrasi terus membuka peluang untuk perbaikan menjadi lebih baik. Dan itulah sesungguhnya letak demokrasi dalam politik,” jelasnya.
Apa yang dilihat dan diamati saat ini, wajah politik negeri ini masih jauh dari yang diharapkan. Dan memang tidak gampang untuk itu. Politik itu harus menegakkan keadilan di dunia yang tidak adil. “Partai-partai politik saat ini banyak yang mati, korup, atau hanya mendukung memimpin. Parlemen begitu berkuasa, dan berpotensi menyalahgunakan kekuasaan, pemerintahan yang tidak konsisten, yang cepat berubah,” lagi-lagi cerita Mas Goen yang membuat pemred-pemred Grup JP itu senyap mendengarnya.