Menyekolahkan Dua Keponakan, Berharap Ada yang Jadi Menteri dari Hasil Tuak
“Keluarga dan ayahku tidak pernah menolak kehidupanku saat ini. Mereka beranggapan kalau hidupku sama persis dengan salah seorang bibi kami terdahulu, yang juga menyadap tuak dan tidak menikah. Hingga akhir hayatnya hanya bekerja sebagai penyadap tuak,” jelas Misdiana.
“Huhokkop do sude. Dang tersisa waktukku di luar (semua kuperjuangkan. Tidak ada waktu tersisa di luar sana). Memang kesannya seolah ada anak yang kuperjuangkan. Aku hanya berharap kejadian yang menimpa keluargaku puluhan tahun lalu tidak terjadi pada seluruh keponakanku. Kalau hanya untuk sekedar makan, tidak harus ngotot kerja seperti ini,” jelasnya.
“Kalau masalah tuak sudah hafal. Hanya dengan mencium aroma saja, sudah dapat ditebak seperti apa rasa tuak itu. Atau hanya dari warna, juga sudah dapat ditebak jenis tuak itu,” terang Misdiana melanjutkan ceritanya di perladangan itu.
Ditanya mitos seorang paragat yang tidak boleh menggunakan pakaian cantik dan harus menggunakan seragam yang biasa dipakai untuk memanen air nira, Misdiana percaya bahwa dengan memakai pakaian yang itu-itu saja, pohon tersebut akan mengenal pemiliknya dan akan mengeluarkan air nira lebih banyak.
Misidiana berprinsip, bagaimana dirinya tetap dikasihi dan dihargai keluarga hingga akhir hayatnya.
“Boha iba asa dihaholongi ro di ujung ni ngolu (supaya keluarga menghargai aku hingga akhir hayatku),” ujarnya. (***)