Menyimak 3 Tahun Kedaulatan Pangan
Pengamat itu pun mengatakan bahwa penurunan kesejahteraan petani sangat terasa di lapangan berdasarkan laporan petani. Menurut Alhe, ini justru menjadi subjektif dan tidak berdasar kaidah pengumpulan data statistik.
“Saran saya menghitung kesejahteraan agar menggunakan objective measurement,” katanya.
Selanjutnya pengamat menunjukkan data Global Food Security Index (GFSI), yang dimana peringkat mutu dan keamanan pangan Indonesia berada pada posisi 86 dari 113 negara.
“Ini pengamat menyajikan data sepenggal saja, tidak disajikan utuh. Coba dilihat nilai GFSI keseluruhan tahun 2016 Indonesia peringkat 71 dari 113 negara dengan lompatan tertinggi di dunia skor 50,6 atau naik 2,7 poin. Selanjutnya simak GFSI 2017 Indonesia naik lagi menjadi peringkat 69 dari 113 negara,” lanjutnya.
Tidak hanya itu, tegas Alhe, semestinya simak pula data Food Sustainability Index (FSI), pada 25 negara besar sebagai sampel dengan kriteria merupakan 2/3 Penduduk dunia dan mencakup 87 % dari total PDB Dunia. Hasilnya FSI keseluruhan Indonesia di peringkat 21 dan pada aspek sustainable agriculture pada rangking 16 di atas negara Cina, Ethiopia, Amerika Serikat, Nigeria, Arab Saudi, Afrika Selatan, Mesir, Uni Emirat Arab dan India.
Selanjutnya pengamat menyampaikan beberapa usulan, justru memang sudah dikerjakan saat ini, seperti penjaminan harga di petani, hilirisasi produk, korporasi petani, pengendalian laju konversi lahan, reforma agraria, program diversifikasi, pengembangan hortikultura. Usulan pengalihan subsidi input menjadi subsidi output, adalah ide bagus, namun dipastikan perlu dana besar dan membuat masalah baru.
“Kasus di Thailand menyalurkan subsidi output untuk petani padi, justru menjadi bermasalah dan kisruh,” sanggah Alhe.
Karena itu, menurut Alhe sangat menyayangkan ada pengamat mengatakan program pangan Kementan melalui Upaya Khusus adalah sia-sia atau hanya menghabiskan anggaran. Padahal analisisnya tidak tepat dan semoga tidak syarat kepentingan sepihak.