Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Menyoal Revisi UU Bank Indonesia

Oleh: MH Said Abdullah, Ketua Badan Anggaran DPR

Senin, 07 September 2020 – 09:57 WIB
Menyoal Revisi UU Bank Indonesia - JPNN.COM
Ketua Badan Anggaran DPR RI, MH Said Abdullah. Foto: Humas DPR RI

Poin lain yangs aya temukan dari draf revisi UU No 23 tahun 1999 ini adalah adanya kesalahan ketik, yang seharusnya itu tidak terjadi pada perubahan di pasal 11 ayat 5 yang kalimat pertamanya terputus, sehingga kehilangan maksud. Salah ketik lain terjadi tentang batas akhir nota kesepakatan BI dan pemerintah dituliskan selambat lambatnya tahun Februari 2004, padahal mungkin maksudnya Februari 2024.

Tantangan ke Depan

Secara umum saya melihat draf revisi UU No 23 tahun 1999 ini belum menjawab kebutuhan kita di masa depan. Beberapa poin yang sekiranya perlu dimasukkan bila revisi UU No 23 tahun 1999 ini dilanjutkan adalah, pertama: bila kita cermati problema kita memang ada di sektor fiskal; rasio pajak stagnan malah turun, kita mengalami deindustrialisasi, defisit perdagangan, membesarnya impor, terutama pangan dan energi, serta tingginya angka icor bila dibandingkan dengan negara tetangga. Hal hal ini yang justru memberikan tekanan pada sektor moneter.

Untuk membantu pembiayaan pembangunan yang dijalankan pemerintah, saya kira draf revisi UU Nomor 23 tahun 1999 pada perubahan ayat 1 sampai 3 pasal 56 draf revisi UU No 23 tahun 1999, yakni dengan memasukkan keterlibatan BI dalam pembiayaan yang dibutuhkan oleh pemerintah.

Kedua, memasukkan praktik skema burden sharing yang telah dilaksanakan oleh BI dan pemerintah ini adalah revisi UU BI. Saya kira poin ini penting untuk ditambahkan dalam revisi UU Nomor 23 tahun 1999, dan hal itu telah tercemin dalam penambahan di ayat 4 dan 5 pasal 55 draf revisi UU No 23 tahun 1999.

Ketiga, pada pasal 58A yang merupakan pasal tambahan yang dituangkan dalam Undang Undang 3 tahun 2004 tentang Perubahan UU No 23 tahun 1999 menambahkan Badan Supervisi BI. Sayangnya ketentuan tentang Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI) memiliki tugas hanya membantu pengawasan yang dilakukan oleh DPR. Kewenangannya hanya memberikan laporan kepada DPR.

Saya lebih sepakat menguatkan kewenangan BSBI bukan sekedar alat bantu DPR. Penguatan kewenangan BSBI ini diperlukan selayaknya lembaga pengawas lembaga tinggi negara lainnya. Kita perlu mencotoh kewenangan Dewan Pengawas KPK. BSBI adalah bagian dari satu kesatuan dari organisasi BI yang kedudukannya mengawasi Dewan Gubernur BI dan kinerjanya. BSBI juga perlu diberikan kewenangan untuk memutus perkara etik yang melibatkan jajaran pegawai BI.

Keempat, kita perlu memikirkan agar BI berperan bisa lebih dalam pada sektor riil, khususnya UMKM. Sebab UMKM ini adalah wajah dari ekonomi kita. Kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) kita lebih dari 60 persen. Terlalu besar kalau hanya semata di urus oleh pemerintah melalui sisi fiskal. Melalui kewenangannya saat ini, BI memiliki instrumen untuk ikut mengatur pada sektor keuangan, yakni melalui kebijakan suku bunga acuan, intervensi ke pasar spot, penetapan Giro Wajib Minuman (GWM), dan lain-lainnya.

Konstruksi revisi UU Nomor 23 tahun 1999 belum menyentuh tantangan ekonomi, terutama sektor keuangan kita kedepan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

BERITA LAINNYA
X Close