Menyusuri Kepingan Sejarah Perang Dunia II di Indonesia Timur (2)
Museum Didirikan Hanya untuk Sambut Sail MorotaiPulau Zum-Zum terletak di gugusan Kepulauan Morotai. Dulu pernah digunakan sebagai “rumah dinas” dan pusat komando MacArthur.
Sumber air berbentuk kolam itu, kata Syukur, punya kedalaman bervariasi. Berkisar 3–8 meter. Syukur mengelola tempat itu secara swadaya sejak 2009 menggantikan kakeknya. Dia pernah mengajukan proposal ke pemerintah setempat untuk membenahi situs sejarah itu. Namun, tidak direspons hingga sekarang ini. "Mereka turun ketika akan digelar Sail Morotai 2012. Setelah itu, ya cuek saja," ungkapnya.
Respons positif justru datang dari keluarga tentara sekutu yang pernah terlibat dalam PD II di Morotai. Salah satunya Geoff Fox, anak serdadu Australia yang terlibat dalam Battle of Morotai dalam PD II. "Dia (Geoff Fox, Red) menanam seratus pohon di sini dan memasang banner PD II ini," ujar Syukur.
Dari Air Kaca, perjalanan saya lanjutkan ke Pulau Zum-Zum. Dengan perahu motor, diperlukan waktu 15 menit untuk menyeberang dari Daruba ke Zum-Zum. Begitu kapal motor merapat di dermaga kayu pulau itu, pengunjung seolah dibawa ke era PD II.
Di pulau yang dikenal dengan nama MacArthur Island itu, pengunjung bisa melihat bangkai kapal sekutu terkubur di pasir laut pelabuhan tersebut. “Menurut cerita, kapal sekutu karam setelah diserang Jepang dan akhirnya terkubur pasir seperti ini,” ujar Muhlis Eso, pemerhati sejarah yang konsisten mengumpulkan sisa-sisa peninggalan PD II.
Menurut Muhlis, sebenarnya di Selat Morotai masih banyak sisa kendaraan tempur milik sekutu yang karam. Mulai pesawat, mobil Jeep hingga truk pasukan. Belum banyak yang mengambil bangkai besi itu karena memang tidak mudah mengangkatnya ke daratan. “Ini sebagian bangkai kendaraan tempur yang ada di dalam laut sini,” kata Muhlis sambil menunjukkan foto-foto bangkai kendaraan sekutu mobil itu.
Sepulang dari Pulau Zum-Zum ke Morotai, Muhlis memamerkan Museum PD II yang dibangun untuk menyambut Sail Morotai 2012. Di dalam museum yang tak begitu luas itu, seluruh koleksinya milik Muhlis. Mulai peralatan makan, senjata SMB 12,7, selongsong peluru, meriam, mesin sandi, hingga puluhan keping dog tag.
Museum itu didirikan hanya untuk menyambut even akbar tersebut. Setelah itu, perawatan dan pengelolaannya diserahkan kepada Muhlis. Pemerintah seakan tak mengurusi lagi, termasuk membiayai operasinya. Akibatnya, Muhlis pun tidak bisa maksimal mengurusnya. Dia baru mau membuka dan membersihkan museum itu jika ada waktu luang.