Merasakan Keharuan dalam Kebaktian Terakhir di Kalijodo
jpnn.com - MENGHARUKAN. Kata itu pas menggambarkan suasana misa di Gereja Bethel Kalijodo. Itu adalah peribadatan terakhir setelah gereja tersebut 48 tahun melayani jemaat. Hujan yang turun menambah suasana makin haru.
Tercatat 47 jemaat yang masih mengikuti kebaktian yang dipimpin Pendeta Timotius Sutomo itu. Semua jemaat hanyut dan tidak sedikit yang meneteskan air mata mendengarkan kotbah yang dibawakan pendeta 45 tahun tersebut.
''Tuhan. Hadirlah di sini. Jadilah saksi bagi kami. Di hari terakhir ini, kami serahkan diri kami padamu, Tuhan Yesus.'' Doa pembuka itu sangat menyentuh. Jemaat tertunduk.
Suara sesunggukan jemaat memecah keheningan ritual suci itu. Sebagian jemaat mengusap pelupuk mata yang mulai basah. Ibadat kemarin benar-benar haru. Salib-salib di tembok gereja sudah tidak ada lagi.
Mimbar yang biasa digunakan pendeta sudah dipindah. Ibadat penutup tersebut juga berjalan tanpa cahaya. Sebab, petugas sudah memutus aliran listrik dalam gereja berukuran 20 x 15 meter itu. Hanya lilin yang menjadi saksi bisu. Keharuan semakin menjadi-jadi karena ibadat berlangsung dengan duduk beralas tikar.
Dalam ibadat itu, pendeta mengingatkan jemaat untuk tidak berkecil hati. Apalagi sampai marah dan meninggalkan Tuhan Yesus. ''Berdoa, berdoa, dan teruslah berdoa. Dekatkan diri kita pada Tuhan. Berdoalah untuk tetangga-tetangga kita, saudara-saudara yang melayani. Bangun kerajaan Allah,'' seru sang imam.
Dalam kotbahnya itu, dia mengatakan bahwa situasi saat ini memang sulit. Kenyataan yang dihadapi memang tidak mudah dilewati. Apalagi harus meninggalkan gereja yang sudah digunakan puluhan tahun itu. Dia berpesan, dalam situasi ini, jemaat harus bermetamorfosis.
Dari kempompong menjadi kupu-kupu. Untuk menguatkan umatnya, dia berkisah. Sebelum berubah menjadi bentuknya yang sempurna, kupu-kupu harus melewati fase menjadi kepompong. Selama berhari-hari, berminggu-minggu, kupu-kupu diselimuti kulit kepompong.