Miftahul Adib: Isu Penundaan Pemilu Berbelok dari Tujuan Awal
Menurut dia, Pemilu tidak bisa hanya dibaca pada proses pencoblosannya saja, tetapi juga persaingan dalam proses pencalonan, proses pemenangan, hingga konsolidasi kekuatan setelah kemenangan diraih.
“Kalau satu tahun sebelum tahun pemilu, 2023 misalnya, semua terfokus pada pemenangan politik dan kemudian satu tahun lagi pasca pemilu untuk konsolidasi, maka ada potensi sekitar 3 tahun yang tidak efektif untuk perbaikan pertumbuhan ekonomi ini,” terangnya lagi.
Berbagai dampak ekonomi inilah, kata Adib yang harus dikaji lebih dalam terkait isu penundaan Pemilu 2024. Jika perlu pakar ekonomi bisa memberikan angka-angka terkait dampak Pemilu dalam proses recovery ekonomi pasca-Covid-19.
“Harus dipertimbangkan juga apakah memang ada unsur kedaruratan dari sisi ekonomi akibat Covid-19 selama dua tahun terakhir ini, sehingga memang dibutuhkan langkah terobosan agar proses recovery ekonomi layak untuk dilakukan,” katanya.
Adib mengatakan usul penundaan pemilu adalah hal biasa sebagai konsekuensi demokrasi. Setiap masyarakat apalagi ketua partai politik sah-sah untuk mengajukan usulan dan pandangan terkait apa yang terbaik bagi bangsa ini. Bahkan jika harus mengubah konstitusi.
“Konstitusi itu bukan kitab suci. Jadim sah-sah saja diubah jika memang dibutuhkan untuk kepentingan bangsa dan negara,” kata Adib.
Memang isu penundaan Pemilu, kata Adib merupakan isu kontroversial. Kendati demikian, isu ini tetap layak dipertimbangkan menjadi diskursus publik.
“Meski isu ini kontroversial tetapi tetap populis karena merupakan bagian dari aspirasi masyarakat. Makanya, ada kelompok pro dan kontra di isu ini. Keberanian Gus Muhaimin menjadi penggagas pertama usulan ini tak terlepas kepiawaiannya membaca situasi daan kekhasan figurnya sebagai politisi kancil,” ujar Adib.