Militansi Kesuburan dari Keluarga Fisika
Tapi, kemampuan subsidi terbatas. Jumlah bahan baku pupuk organik juga tidak mencukupi. Merosotnya jumlah ternak ikut menurunkan jumlah kotorannya. Kekurangan pupuk penyubur yang sangat besar itulah yang dilihat sebagai peluang bisnis. Mereka tahu bahwa tanah sawah menjadi gersang karena mikroba mati oleh pupuk kimia. Tanah mengeras. Untuk menyuburkan kembali, harus dimasukkan mikroba baru ke dalam tanah. Berarti harus ada ”peternakan” mikroba.
Agar mikroba hasil pembiakan itu bisa berkembang di tanah yang sudah mati, diperlukan ”makanan” mikroba: energi. Itulah sebabnya jutaan mikroba tersebut dimasukkan ke tanah bersama dengan makanannya: tetes tebu. Atau bahan lain yang mengandung makanan mikroba.
Kini pupuk mikroba seperti membanjir. ”Pernah mencapai lebih 2.000 merek,” ujar Amal Gozali. Ketika jadi wartawan, Amal sukses mencapai karir tertinggi: jadi pemimpin redaksi. Ketika terjun ke bisnis mikroba, dengan produk Agrobost-nya, Amal sukses merajai pasar. ”Dari 2.000-an itu, yang bertahan sampai sekarang tinggal sekitar 40 merek,” kata Amal.
Saat sudah berkembang luas pun, jenis pupuk mikroba itu belum mendapat pengakuan pemerintah. Di mata pemerintah, yang bisa disebut pupuk hanya dua jenis: kimia dan organik. Produsen pupuk mikroba gelisah. Terutama ketika kian banyak produk yang mengecewakan petani. ”Kami terus berjuang agar diakui pemerintah,” ujar Amal. ”Agar segera ditentukan standarnya. Untuk melindungi petani,” tambahnya. ”Meluasnya pupuk mikroba sudah tidak bisa ditahan,” ujar Amal.
Perjuangan itu berhasil. Diakui. Namanya pun dibakukan: pupuk hayati. Maka, di dalam kamus birokrasi pertanian kini sudah ada tiga jenis pupuk: kimia, organik, dan hayati.
Lalu, untuk jenis baru lagi, temuan Tjahyo itu perlu berapa lama lagi mengubah kamus? (***)
Dahlan Iskan
Mantan CEO Jawa Pos