MK Didesak Tolak Remisi untuk Koruptor
jpnn.com, JAKARTA - Tim Advokasi Pro-Pembatasan Remisi untuk Koruptor mendesak Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian UU yang melonggarkan syarat pemberian remisi bagi napi korupsi. Tim yang terdiri dari PBHI, ICW, dan ICJR ini menilai upaya yang dilakukan para pemohon bisa dilihat sebagai siasat untuk mendapatkan pengurangan masa hukuman.
Hal ini dikarenakan selain argumentasi prematur, pemohon adalah narapidana korupsi yang tidak memenuhi syarat-syarat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Ada enam alasan kenapa Mahkamah Konstitusi harus menolak pengujian yang diajukan oleh pemohon," kata Julius Ibrani dari Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) dalam pernyataan tertulisnya, Rabu (1/11).
Enam alasan tersebut adalah:
1. Pemohon terpidana kasus korupsi tidak memenuh syarat mendapatkan remisi. Meskipun disebut sebagai hak narapidana namun ada tata cara dan syarat yang mengatur pemberian remisi. PP 99/2012 mengamanatkan syarat tambahan bagi narpidana kasus korupsi yaitu menyandang status Justice Collaborator dan telah membayar denda / uang pengganti. Syarat ini tidaklah bisa dipenuhi oleh pemohon yang mengajukan permohonan pengujian UU 12/1995.
2. Pengetatan Remisi adalah kebijakan hukum pemerintah. Pengetatan remisi dalam PP 99/2012 merupakan bentuk kebijakan hukum terbuka pemerintah. Dimana UU 12/1995 dalam Pasal 14 ayat (2) mengamanatkan tata cara pelaksanaannya diatur oleh Peraturan Pemerintah. Ini berarti bagaimana remisi diberikan merupakan sepenuhnya kebijakan pemerintah.
3. Putusan Mahkamah Agung Nomor 51 P/HUM/2013 dan 63 P/HUM/2015 Menguatkan keberadaan PP 99/2012. Mahkamah Agung melalui dua putusannya menilai bahwa pengetatan remisi bagi narapidana korupsi bukan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia, melainkan merupakan konsekuensi logis dari nilai atau bobot kejahatan yang korupsi yang memiliki dampak yang luar biasa.
4. Pengetatan remisi sejalan dengan semangat United Nation Convention Againts Corruption (UNCAC). Bahwa dalam rekomendasi reviewer UNCAC menilai dalam praktiknya, aturan hukum Indonesia belum memadai untuk mengakomodasi pengaturan yang berkaitan dengan remisi atau pembebasan beryarat. Dan merekomendasikan pemerintah untuk menjadikan kejahatan korupsi sebagai alasan pemberat dalam pertimbangan pemberian remisi atau pembebasan bersyarat. Hal ini sejalan dengan Poin 5 Article 30 UNCAC yang berbunyi: “Each State Party shall take into account the gravity of the offences concerned when considering the eventuality of early release or parole of persons convicted of such offences”