MK Melarang Pengurus Parpol Jabat Jaksa Agung, CBA: Sudah Tepat Itu
Amar putusan MK mengubah norma pasal tersebut dengan menambahkan syarat lain, yakni yang diangkat menjadi jaksa agung bukan merupakan pengurus parpol kecuali telah berhenti sekurang-kurangnya lima tahun sebelum diangkat.
Dengan begitu, pasal tersebut selengkapnya berbunyi, “Untuk dapat diangkat menjadi jaksa agung harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 Huruf a sampai dengan Huruf f termasuk syarat bukan merupakan pengurus partai politik kecuali telah berhenti sebagai pengurus partai politik sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebelum diangkat sebagai jaksa agung”.
Adapun Jovi, dalam pokok permohonannya, meminta Pasal 20 UU Nomor 11 Tahun 2021 juga mengatur syarat agar anggota parpol tidak boleh diangkat menjadi jaksa agung.
Atau jika seseorang tersebut pernah terdaftar sebagai anggota parpol, dia harus telah keluar minimal sejak lima tahun sebelum diangkat.
MK tidak dapat mengabulkan seluruh petitum Jovi, sebab mahkamah menemukan bahwa ada perbedaan tugas, fungsi, dan kewenangan antara “pengurus” parpol dan “anggota” parpol.
Menurut MK, pengurus parpol lebih memiliki keterikatan yang kuat terhadap partainya karena seorang pengurus memilih untuk terlibat lebih dalam dengan partainya; sementara anggota parpol bisa saja menjadikan parpol hanya sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan politik.
Sebab itu, MK memandang pengurus parpol berpotensi memiliki konflik kepentingan ketika diangkat menjadi jaksa agung tanpa dibatasi oleh waktu yang cukup untuk terputus afiliasi dengan parpol yang menaungi dirinya.
“Apabila dikaitkan dengan permohonan pemohon, menurut mahkamah, syarat untuk sudah keluar selama lima tahun dari partai politik sebelum diangkat menjadi jaksa agung, haruslah diberlakukan bagi calon jaksa agung yang sebelumnya merupakan pengurus partai politik,” demikian pertimbangan hukum MK sebagaimana dikutip dari salinan Putusan Nomor Nomor 6/PUU-XXII/2024. (antara/jpnn)