MRP Dianggap Tidak Mempunyai Legal Standing di MK, Filep Bereaksi, Tegas
Menurut dia, MRP dibentuk dalam konteks kekhususan Papua, yaitu suatu lembaga yang dihadirkan untuk menjadi representasi kultural, di mana adat, perempuan, agama, hadir dan bersama-sama Pemerintah melakukan kewenangan tertentu yang diakui oleh UU dan konstitusi.
“Mungkin kita perlu melihat kembali Yurisprudensi Putusan MK sebelum sekarang. Dalam Putusan MK Nomor 34/PUU-XIV/2016, pada pengujian UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua, terkait syarat Bupati/Wakil Bupati harus OAP, MK mengakui dan menerima legal standing para pemohon, yaitu dari Wakil Ketua dan Anggota MRP sebagai representasi kultural OAP,” ujar Filep.
Apabila ditelaah secara hukum murni, kata dia, Pasal 5 UU Otsus, yang lama maupun yang baru, dalam Ayat (2) menempatkan MRP sebagai salah satu lembaga dalam Susunan Pemerintahan Otsus Papua.
“Jadi, sangat keliru bila MRP dikatakan tidak memiliki legal standing,” tegas Filep.
Menurut Filep, jika tidak punya legal standing, lalu apa gunanya MRP mengadvokasi aspirasi masyarakat adat atau ikut memberi persetujuan terhadap suatu Perdasus? Apakah cuma boneka Pemerintah saja? Satu hal yang pokok di sini, Pemerintah Pusat jangan coba-coba bermain aman dengan mempreteli eksistensi MRP.
“Pemerintah pusat harus menelusuri histori lahirnya MRP. Sehingga pemerintah tidak sewenang-wenang mengambil kebijakan atau keputusan yang menghilangkan histori lahirnya UU otsus yang didalamnya ada MRP,” ujar Senator Papua Barat ini.(fri/jpnn)