MUI dan Islamisme
Oleh: Dhimam Abror Djuraidjpnn.com - Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Miftachul Akhyar mengundurkan diri dari jabatannya pada Rabu (9/3).
Kiai Mif lebih memilih berkhidmat di Nahdlatul Ulama (NU) setelah terpilih sebagai rais aam pada muktamar di Bandar Lampung, akhir Desember 2021.
Selama menjabat sebagai ketua umum Kiai Mif jarang sekali berbicara melalui media. Karena itu wajah dan komentarnya jarang muncul di media mainstream maupun media non-mainstream. Kiai Mif memang bukan tipe ‘’kiai media’’ atau ‘’kiai politik’’. Dia adalah tipe kiai profesional yang menghabiskan waktunya untuk mengurus pesantren.
Kiai Mif menjadi ketua PWNU Jatim sebelum menggantikan Kiai Makruf Amin sebagai ketua umum MUI. Sebagaimana mafhum, Kiai Ma’ruf dibon oleh Jokowi untuk menjadi wakil presiden. Selain menjadi ketua umum MUI, Kiai Ma’ruf juga menjadi rais aam NU. Dua posisi strategis itu menjadi nilai plus bagi Kia Ma’ruf ketika Jokowi mencari calon wakil presiden.
Posisi yang sama kemudian diwarisi oleh Kiai Mif. Namun, kali ini para kiai NU yang tergabung dalam Ahlu Halla wal Aqdi (Ahwa) pada muktamar di Lampung melarang rangkap jabatan bagi pimpinan puncak NU.
Karena itu Kiai Mif juga harus memilih antara MUI dan NU. Jawaban Kiai Mif ketika itu menunjukkan kualitas kekiaiannya yang tetap tawadu’ dengan mengucapkan ‘’sami’na wa atha’na’’, saya mendengar dan sara taat, ungkapan khas seorang santri tulen.
Ketua PBNU Gus Yahya Cholil Staquf sudah menetapkan garis baru bahwa pimpinan NU harus absen menjadi kandidat presiden maupun wakil presiden pada perhelatan pilpres 2024 mendatang. Kiai Mif bukan kiai politik, tetapi tidak mustahil ada kekuatan-kekuatan politik yang menariknya masuk ke gelanggang politik sebagaimana yang dialami oleh Kiai Ma’ruf.
Dengan tidak rangkap jabatan, dan dengan adanya larangan berpolitik praktis oleh Gus Yahya, maka pada 2024 mendatang NU bisa disebut aman dari intervensi politik. Secara formal kemungkinannya akan seperti itu.