MUI dan Islamisme
Oleh: Dhimam Abror DjuraidNamun, secara informal hal itu malah memberi ruang yang lebih luas kepada personel-personel puncak PBNU untuk terlibat dalam perhelatan politik 2024. Sejumlah politisi yang masuk di kepengurusan puncak PBNU seperti Nusron Wahid, Saifullah Yusuf, Khofifah Indar Parawansa, hampir dipastikan akan menjadi aktor penting dalam perhelatan politik 2024.
Posisi ketua umum MUI yang kosong kemungkinan akan diisi oleh salah satu wakil ketua sebagai pelaksana tugas, sebelum ditetapkan ketua umum baru melalui musyawarah luar biasa. Ketika Kiai Sahal Mahfudz meninggal dunia pada 2014 posisinya digantikan oleh Prof. Din Syamsudin yang menjabat sebagai sekjen. Prof. Din kemudian resmi terpilih sebagai ketua umum MUI.
Kepemimpinan MUI di bawah Prof. Din berbeda dengan ketika masih di bawah Kiai Sahal yang lebih dikenal sebagai ulama ahli fikih. Prof. Din yang punya latar belakang politik dan aktivisme kuat kemudian membawa MUI dalam gerakan aktivisme yang dekat dengan politik praktis.
Puncaknya terjadi pada perhelatan pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017. Ketika itu terjadi kasus dugaan pelecehan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang sedang mencalonan diri sebagai calon gubernur. Terjadi protes publik Islam yang sangat keras terhadap Ahok, sampai kemudian memunculkan demonstrasi 212 yang diikuti jutaan orang.
Ketika itu MUI dipimpin oleh KH. Ma’ruf Amin sebagai ketua umum dan Prof. Din Syamsudin sebagai ketua dewan pertimbangan. Terlihat sekali bahwa kubu Prof. Din lebih berpengaruh dalam kiprah MUI. Hal itu terlihat dari pernyataan resmi MUI yang diteken oleh KH Ma’ruf yang mengecam pelecehan Al-Qur'an oleh Ahok.
Gelombang tekanan publik Islam yang kuat mendapatkan legitimasi dari MUI. Ahok akhirnya kalah dalam perhelatan melawan Anies Baswedan yang didukung penuh oleh gerakan Islam. Ahok bahkan akhirnya masuk penjara akibat gelombang tekanan itu.
MUI di bawah KH Ma’ruf dan Prof Din menjadi semacam ‘’the bastion of islamism’’ atau benteng gerakan islamisme. Persaingan politik di pilgub DKI tercatat sebagai perhelatan politik dengan persaingan yang paling tajam antara kandidat yang didukung oleh kekuatan nasionalis melawan kandidat yang didukung oleh kekuatan Islam politik.
Benih islamisme di pilgub DKI berkembang menjadi semakin besar. Terjadi polarisasi politik yang tajam yang melibatkan persaingan keras di media sosial, yang memunculkan terminologi cebong dan kampret. Cebong adalah kalangan nasionalis pendukung Ahok, dan kampret adalah kalangan islamis yang mendukung Anies Baswedan.