Naikkan Harga Rokok Setinggi-tingginya, Jangan Dijual per Batang
Akses rokok juga sangat mudah karena harganya murah, dijual per batang dan bisa dibeli di mana saja.
"Mestinya menjual rokok semahal- mahalnya dengan kenaikan cukai rokok. Jangan menjual batangan. Anak-anak tertarik merokok karena mudah membeli rokok karena dijual pe batang," kritiknya.
Lisda melanjutkan, berbagai studi menunjukkan terpaan iklan, promosi dan sponsor rokok sejak usia dini meningkatkan persepsi positif dan keinginan untuk merokok. Studi Uhamka 2007 menunjukkan, 46,3% remaja mengaku iklan rokok memengaruhi mereka untuk mulai merokok.
Studi Surgeon General menyimpulkan iklan rokok mendorong perokok meningkatkan konsumsinya dan mendorong anak-anak untuk mencoba merokok serta menganggap rokok adalah hal yang wajar (WHO 2009).
"Hasil monitoring iklan rokok yang dilakukan Yayasan Lentera Anak, SFA dan YPMA di 5 kota pada 2015 menemukan 85% sekolah dikelilingi iklan rokok. Pemantauan yang dilakukan Forum Anak di 10 kota pada 2017 menunjukkan ada 2.868 iklan, promosi, dan sponsorship rokok," bebernya.
Di satu sisi anak dan remaja dikepung iklan, promosi dan sponsor rokok yang masif. Di sisi lain peraturan yang melindungi anak dari rokok sangat lemah.
Indonesia, kata Lisda, sebenarnya sudah memiliki peraturan yang bertujuan mengendalikan konsumsi rokok, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan atau PP 109/2012. Namun, faktanya, PP 109/2012 gagal melindungi anak dari adiksi rokok dan menurunkan prevalensi perokok anak.
"Tidak adanya sanksi tegas dalam PP 109/2012 menjadikan iklan, promosi dan sponsor rokok merajalela dan industri rokok tetap leluasa menjual rokok kepada anak," sebutnya.