Nasib Hiburan Malam di Bulan Ramadan
Rabu, 21 Juli 2010 – 10:53 WIB
Hiburan malam, kerap kali, identik dengan dugem (dunia gemerlap), hura-hura, karaoke, diskotik, live music, panti pijat, dan segala bumbunya, termasuk esek-esek. Tapi membangun semangat pluralisme, yang intinya adalah toleransi, tetap tak bisa diselesaikan dengan kekerasan. Sekali lagi, yang dibutuhkan adalah pendekatan penyadaran, dialog. "Toh bangsa ini sudah dewasa," imbuh mantan aktivis 1998 itu.
Untuk proses penyadaran, lanjut Arie, sejumlah ormas keislaman perlu turun tangan. Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), atau pun Majelis Ulama Indonesia (MUI), perlu terus membangun dialog dengan banyak elemen masyarakat, termasuk kalangan pengusaha sektor dugem. Jangan hanya bersuara tatkala ada pemberitaan tindakan anarkis milisi. "Karena hanya dengan pendekatan kultur, suasana tetap bisa sejuk. Pendekatan policy dan politik, sulit untuk bisa meredam hingar-bingar dunia malam," katanya.
Industri apa pun, termasuk tempat hiburan malam, sudah tentu menyerap tenaga kerja. Di sana, ada kepala keluarga yang ingin dapurnya tetap mengepul. Pemerintah, sudah tentu, juga tak ingin angka pengangguran bertambah. "Selama penutupan pada Ramadan pasti ada penurunan pendapatan yang signifikan hingga 40 persen," kata Ketua Perhimpunan Pengusaha Rekreasi dan Hiburan Umum Adrian Mailite.