Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com
Serial Gerakan Tata Ruang dan Ekonomi Hijau

NDC, SDGs, dan Paradigma Baru Tata Ruang

Oleh: Anton Doni Dihen

Senin, 04 Oktober 2021 – 08:35 WIB
NDC, SDGs, dan Paradigma Baru Tata Ruang - JPNN.COM
Direktur Teras Hijau Indonesia sekaligus Penggagas Gerakan Tata Ruang dan Ekonomi Hijau Anton Doni Dihen. Foto: Dokumentasi pribadi

Tentu pada satuan wilayah perencanaan tertentu, target-target NDC dan SDGs aspek lingkungan bisa berbobot lebih besar; sementara pada satuan wilayah perencanaan lain target-target NDC dan SDGs aspek lingkungan tidak terlalu tinggi, malah sebaliknya target-target menjadi sangat economy-heavy namun tetap ramah lingkungan. Perbedaan target antar satuan wilayah perencanaan ini tentu merupakan sesuatu yang dirancang dengan baik, dalam kepatuhan terhadap target-target overall kewilayahan.

Pada tingkat kebijakan di atasnya, entah Peraturan Pemerintah tentang Penataan Ruang maupun Peraturan Menteri mengenai Penataan Ruang, mandat target-target ini semestinya dapat dibuat jelas untuk setiap daerah. Tetapi jika penargetan ini masih merupakan sesuatu yang berat dalam rejim kebijakan kita, maka kebijakan pada tingkat atas cukup mengarahkan agar tujuan penataan ruang dalam RTRW perlu menetapkan target-target NDC dan SGDs secara kuantitatif.

Kedua, penyempurnaan instrumen perlindungan dan pengendalian lingkungan hidup di tingkat mikro dan arahan pengendalian tata ruang pada tingkat zona. Selama ini, beberapa instrumen sudah tersedia, misalnya ruang terbuka hijau, zero delta Q, dan koefisien dasar hijau untuk bangunan-bangunan di zona industri dan perumahan.

Dalam rangka pemenuhan target-target mikro NDC dan SDGs, kewajiban biopori sudah saatnya dilembagakan dalam peraturan tata ruang. Demikian pula instrumen-instrumen kebijakan lain dalam rangka pengendalian kualitas air, udara, dan limbah.

Di samping instrumen-instrumen pengendalian lingkungan, instrumen optimalisasi dampak dan tanggung jawab sosial juga dapat dioptimalkan melalui arahan peraturan zonasi yang lebih jelas. Misalnya kewajiban adanya sekolah industri dalam berbagai alternatif model untuk membuka akses peningkatan kualitas sumber daya manusia di sekitar lokasi industri agar sifat inklusivitas lokal dari perkembangan industri dapat lebih dipastikan.

Ketiga, penyempurnaan sistem tata kelola urusan lingkungan hidup dengan dukungan prasarana yang lebih jelas, yakni dengan memasukkan komponen prasarana monitoring dan pengendalian lingkungan dalam struktur ruang daerah. Kita tahu bahwa transparansi adalah bagian sangat penting dalam proses pemenuhan komitmen-komitmen NDC dan SDGs, yang menentukan imbal jasa komitmen yang merupakan bagian dari skema NDC dan SDGs.

Tidak hanya itu, transparansi melalui teknologi dan prasarana monitoring lingkungan juga memberikan jaminan atas kualitas lingkungan yang dijanjikan melalui komitmen-komitmen perizinan yang dilakukan oleh industri dan usaha lainnya. Dengan transparansi pula, pengawasan dan penegakan hukum lingkungan dapat berlangsung dengan lebih baik.

Akhirnya, pelembagaan NDC dan SDGs dalam rencana tata ruang tidak perlu menghadirkan kekhawatiran akan trade-off sisi ekonomi karena kedua sisi ini mempunyai peluang untuk dimaksimalkan secara bersamaan. Jika ada trade-off, trade-off tersebut memang pada dasarnya tidak terhindarkan, jika tidak hari ini maka akan lebih berat di masa yang akan datang, dan menjadi serius bagi usaha ekonomi yang selama ini berkinerja buruk di bidang perlindungan dan pengendalian lingkungan.

Indonesia telanjur mengikatkan diri dalam perjanjian-perjanjian ambisius bersama komunitas berbagai negara untuk bumi yang lestari dan kehidupan yang lebih baik.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News