Negara Hadir di Tengah Pandemi
Oleh Komisaris Independen Jamkrindo Muhammad Muchlas Rowijpnn.com - Berada di tengah Pandemi Covid-19 memang seumpama terbang di tengah cuaca ekstrem. Bikin jantung berdebar, dan semua rencana jadi ambyar.
Apalagi bagi para penyintas Covid-19 seperti saya, sungguh pengalaman yang bukan saja menegangkan, namun juga menghadapkan kita pada situasi paling sulit, antara hidup dan mati. Terutama di hari ketujuh dan kedelapan, saat pasien covid-19 menghadapi fase batuk yang hebat.
Pada fase itu, saya atau pasien covid-19 lain niscaya menghadapi tantangan paling menentukan, seberapa mampu imunitas kita mencegah virus untuk sampai pada paru-paru. Jika berhasil, kita selamat, tapi jika tidak kita pun lewat.
Syukur alhamdulilah, gott sei dank, meski sempat mengalami fase batuk yang hebat, dan sempat ragu apakah bisa melewatinya. Namun saya akhirnya mampu melewatinya. Itu sudah saya ceritakan di buku terbaru, ‘Dari Jendela Rumah.’
Pandemi Covid-19 meskipun menyajikan kisah beraneka warna, namun pesan yang saya bisa tangkap sejatinya adalah ekawarna (monokrom), satu garis warna tentang kehadiran negara di tengah kesulitan warganya.
Meski dalam kasus saya ini tidak terlalu kentara, karena pilihan yang saya ambil adalah ‘Isolasi Mandiri’. Tapi bagi pasien yang lebih memilir perawatan di rumah sakit ketimbang isoman, ini jelas terasa. Ini dialami salah satu sejawat saya.
Jum’at Wage, minggu pertama Januari 2021, tak lama setelah hasil swab saya menunjukkan Ct (Cycle Threshold) value saya telah di atas 32, Sejawat saya tersebut mengirim sebuah pesan bernada kekhawatiran melalui satu grup whatsaap. “Apa masih ada yang punya kapsul Lian Hua, saya butuh untuk ibu saya, beliau mulai demam malam ini.”
Saya kebetulan masih ada banyak, karena sempat dikirim beberapa teman. Namun baru bisa saya kirim keesokan harinya. Malam itu juga, kabarnya ibunya tersebut langsung masuk rumah sakit.