Negara Legalkan Aborsi
Hanya Boleh Dilakukan Dokter-Bidan Terlatihjpnn.com - JAKARTA - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menggodok beberapa peraturan turunan guna memperjelas Peraturan Pemerintah (PP) nomor 61 tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi. Salah satunya terkait tenaga medis yang berhak melaksanakan proses aborsi.
Mengacu pada PP tersebut, aborsi hanya boleh dilakukan kepada perempuan hamil dengan kondisi darurat medis atau korban pemerkosaan.
PP tersebut telah ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 21 Juli lalu. Aturan itu menegaskan bahwa hanya dokter yang kompeten dan telah mendapatkan pelatihan oleh penyelenggara yang terakreditasi yang bisa melakukan tindakan aborsi.
Selain itu, dokter yang melakukan proses aborsi tidak boleh sama dengan dokter yang memberikan surat keterangan usia kehamilan akibat perkosaan.
Namun, Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi memberi pengecualian untuk daerah-daerah sangat terpencil yang kesulitan mengakses layanan dokter. Dalam kondisi tersebut, Menkes memperbolehkan bidan untuk turun tangan. Dengan syarat, mereka telah memperoleh pelatihan dan mengerti betul tentang prosedur aborsi.
"Mereka (bidan) sebenarnya pasti tidak akan berani melakukan. Mereka akan lebih memilih merujuk. Tapi, kalau memang jarak yang sangat jauh dan tidak ada dokter, bisa bidan atau tenaga kesehatan nanti kita latih," ujar Menkes saat ditemui di kantor Kemenkes, Jakarta, kemarin (19/8).
Menkes mengatakan, detail pelatihan masih digodok dalam peraturan turunan atau peraturan menteri kesehatan (Permenkes). Selain mengenai pelatihan dokter, aturan lain yang akan diperjelas adalah masalah pelayanan kesehatan masa sebelum hamil, pelayanan kesehatan masa hamil, persalinan, dan pelayanan kesehatan masa sesudah melahirkan.
Nafsiah mengatakan, pihaknya akan merumuskan tata cara pengenaan sanksi administratif terhadap tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan yang melanggar aturan terkait penyelenggaraan aborsi dan kehamilan di luar cara alamiah. Permenkes tersebut diharapkan segara rampung dalam waktu dekat.
Menkes menegaskan bahwa PP tersebut bukan merupakan PP aborsi. PP tersebut merupakan amanah dari UU No 36/2013 tentang Kesehatan yang mengamanahkan bahwa pemerintah wajib memfasilitasi aborsi aman sebagai bagian dari hak kesehatan reproduksi.
Meski melegalkan aborsi, tapi implementasi dari PP tersebut tidak akan mudah untuk disalah gunakan. Dalam regulasi itu ditegaskan bahwa aborsi hanya bisa dilakukan dalam darurat medis dan korban pemerkosaan.
Tindakan itu hanya bisa dilakukan setelah melalui konseling dengan ahli. "Aborsi pada korban perkosaan hanya boleh dilakukan sebelum usia kehamilan 40 hari. Itu hasil konsultasi dengan MUI (majelis ulama Indonesia)," jelasnya.
Sebagai penganut Katolik, Nafsiah tidak setuju aborsi. Namun, dirinya juga seorang dokter dan menteri yang berkewajiban memberitahu pasien bahwa mereka sejatinya dimungkinkan untuk membuat pilihan.
"Kalau ada dokter yang keberatan dengan aborsi, dia bisa merujuk pada dokter lain yang bisa. Asal sesuai dengan ketentuan," katanya. (mia/ca)