NET TV: Antara Bisnis Nyata dan Mimpi
Oleh: Joko IntartoSaya menduga. Sejak menjadi NET TV, strategi bisnisnya berubah. NET TV mulai membangun strategi bisnis seperti TV nasional. Buat dulu konten yang bagus agar ratingnya tinggi. Kalau ratingnya tinggi pengiklan akan masuk dengan harga mahal.
Teori itu tidak salah. Semua TV nasional melakukannya. Dan sukses. Wisnuthama adalah tokoh industri penyiaran TV yang lahir dari TV nasional. Dan juga membuktikan suksesnya sendiri.
Sayangnya program bagus itu tidak ada yang gratis. Bahkan untuk disebut murah pun sangat sulit. Biaya produksi dan siaran NET TV pasti mahal sekali.
Sebelum itu saya pernah berada pada kondisi yang mirip-mirip. Saat ditugaskan Pak Dahlan Iskan membantu stasiun JAK TV.
JAK TV adalah TV lokal Jakarta. Tapi awaknya semua dari stasiun TV nasional. Cara berpikirnya TV nasional. Model bisnisnya mirip TV nasional: Buat dulu konten yang bagus. Biar ratingnya tinggi. Nanti iklannya akan datang dengan harga mahal.
Saat saya masuk (2007) JAK TV sudah berusia 7 tahun. Belum pernah mencatatkan laba sekali pun. Pendapatannya jauh dibandingkan biayanya. Setiap bulan tekor miliaran rupiah. Berapa kerugiannya selama 7 tahun berturut-turut?
Langkah pertama yang dilakukan untuk menyelamatkan JAK TV adalah menurunkan biaya produksi konten. Presenter dari TV nasional yang sekali tampil bertarif jutaan rupiah distop. Diganti presenter baru hasil audisi mahasiswa yang bersedia dihonor senilai uang taksi.
Film-film drama Korea dan Hollywood yang eksklusif serta mahal dihentikan. Diganti siaran pengobatan alternatif. Sampai akhirnya sempat dijuluki ‘TV dukun’. Saking banyaknya teraphis yang mengisi siaran.
Program-program baru kemudian diproduksi. Yang murah-meriah. Dengan biaya maksimal setengah dari harga blocking time. Kalau blocking time satu jam Rp 5 juta, biaya produksi konten, apa pun genrenya, maksimal Rp 2,5 juta per episode.