Nisa, Pramugari AirAsia itu Kirim Uang Lebih Cepat
jpnn.com - SATU dari empat pramugari pesawat AirAsia QZ8501 yang diduga jatuh di antara perairan Belitung dan Pontianak (Kalimantan), Minggu pagi (28/12) bernama Khairunnisa Haidar Fauzi.
Dia adalah warga Sumatera Selatan, anak pasangan Haidar Fauzi dan Ny Rohana. Seperti apa sosok perempuan 22 tahun itu di mata keluarga?
------------------------
RUMAH bercat pink di Jl Pipa No 976, Kelurahan Pipa Reja, Kemuning, sekitar pukul 09.30 WIB dari luar terlihat lengang. Pintu utama terbuka dan seorang laki-laki tampak sibuk menerima telepon. “Iya, ini rumah Khairunnisa, pramugari AirAsia itu,” ujar laki-laki tersebut.
Masuk ke dalam ruang, Ny Rohana yang tak lain ibu kandung dari Khairunnisa, tengah ngobrol dengan keluarga di ruang berukuran besar eks Rumah Makan Ampera itu. “Memang ruangnya belum kita sekat-sekat. Ini masih bentuk rumah makan dulu,” ujar Rohana yang disapa Cik Ana oleh keluarganya mengawali perbincangan.
Raut wajah sedih tergambar jelas di wajah Ny Rohana. Matanya berkaca-kaca tatkala disodori pertanyaan soal kejadian hilang kontak pesawat AirAsia. Seolah belum mau menceritakan sosok anaknya Nisa, sapaan Khairunnisa, Cik Ana memilih memperkenalkan satu persatu tamu yang semua keluarga besarnya.
“Semua keluarga. Ini mamanya Eci (Jessy Sihombing),” ujar Cik Ana. Eci ini teman akrab Nisa yang sama-sama lulus tes AirAsia 2013 lalu. Kedua orang tua Eci bernama Jony Sihombing dan Ester datang menemui Cik Ana sekeluarga sebagai bentuk dukungan moril.
Cik Ana dan suaminya Haidar Fauzi terus berharap dan berdoa anaknya selamat. Keduanya, pertama kali mendapat kabar AirAsia hilang kontak sekitar pukul 09.00 WIB, saat menghadiri hajatan di daerah Perumnas.
“Adik saya Herman kasih tahu. Katanya di TV ada nama Khairunnisa Haidar Fauzi. Dia tanyakan benar atau tidak itu anak kami,” ujar Cik Ana dengan mata berkaca-kaca.
Mendengar hal itu, baru 10 menit di tempat hajatan, Cik Ana dan suami memutuskan pulang ke rumah. Mereka langsung berkumpul mendengarkan perkembangan hilangnya pesawat AirAsia. Keluarga maupun kerabat juga terus berdatangan.
“Kalau dari AirAsia baru sekitar pukul 11.00 WIB kasih kabar ke kami. Katanya, AirAsia yang salah satu pramugarinya anak kami hilang kontak. Keluarga diminta menunggu,” cerita Cik Ana.
Baik Cik Ana maupun Haidar Fauzi berusaha tegar menerima apapun hasil pencarian pesawat nanti. Termasuk, hal terburuk jika anaknya meninggal. “Mau bagaimana lagi. Semua sudah diatur oleh Allah. Kami juga support keinginan dia (Nisa) jadi pramugari,” timpal Fauzi, gabung dengan tamu lain setelah menunaikan salat Dhuha.
Nisa adalah bungsu dari tiga bersaudara. Kedua kakaknya, Ahmad Hidayat dan Ikhsanul Kamil berada di Palembang. Menamatkan SMPN 9 Palembang dan SMAN 6 Palembang, Nisa melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum Ekstension Universitas Sriwijaya. Belum kelar menyusun skripsi, Nisa sudah diterima bekerja di AirAsia.
“Sejak tamat SMA dia memang pengen jadi pramugari. Pas diterima, Adek (panggilan keluarga untuk Nisa) berembuk sama keluarga dan katanya mau pilih bekerja saja. Sebab, setelah tamat kuliah pun juga cari kerja. Apalagi, pramugari itu memang keinginannya. Kalau kami keluarga support saja,” ujar Cik Ana lagi.
Ketika diterima di AirAsia, selain Nisa ada tiga warga Palembang yang juga lulus. Yakni, Eci, Meli, dan Ratih. Meskipun tidak tugas di satu tempat, namun ketiganya tetap akrab. Eci bertugas di AirAsia Bali sedangkan Nisa di Surabaya. “Di Surabaya anak kami ngontrak di daerah Sidoharjo,” ujarnya lagi.
Di mata keluarganya, Nisa dikenal sebagai anak yang mandiri. Meskipun hanya bicara seperlunya, namun perempuan kelahiran Palembang, 11 Mei 1992 itu, cepat akrab dengan siapa pun. Sekaligus sangat perhatian dengan keluarga. Setiap mau berangkat tugas, dia selalu menyempatkan diri menelepon ibunya.
Begitu juga sebelum AirAsia hilang kontak Minggu (28/12) pagi. Sabtu malam (27/12), sekitar pukul 21.00 WIB, Nisa menghubungi ibunya dan mengabarkan kalau Minggu dia mau terbang.
“Adek teleponnya jam sembilan malam (21.00 WIB), Sabtu. Katanya, dia besok (Minggu) mau terbang. Ibu juga cerita ke Adek kalau habis menghadiri reuni. Terus ibu ingatkan dia agar sebelum terbang jangan lupa berdoa. Ndak ada yang janggal atau aneh dalam pembicaraan kami malam itu. Benar-benar saya tak punya firasat,” tuturnya.
Hanya saja, kata Cik Ana, jika biasanya dia selalu menanyakan ke mana tujuan anaknya terbang, malam itu, ia justru lupa. “Saya lupa tanya ke mana dia mau terbang. Cuma mengingatkan, kalau capek cepat tidur. Kan jam 03.00 harus sudah stand by.”
Hal lain yang melekat dalam ingatan Cik Anak, anaknya itu royal dan rajin menabung. Ia rutin berkirim uang kepada orang tuanya tiap bulan persisnya di tanggal 29.
“Tapi, kemaren Adek transfer lebih cepat tanggal 25 Desember. Katanya, gaji dia dipercepat karena mau tahun baru. Dia juga bilang mama kalau kurang uang ngomong,” ungkap Cik Ana lagi.
Nisa juga masih sering pulang ke Palembang, meskipun waktunya tidak tentu. “Kadang sebulan dua kali dia balik Palembang, melihat situasi dan kondisi. Terakhir pulang 9 November. Dia janji 6 Januari nanti ke Palembang lagi. Tiket juga sudah dibeli. Cerita juga kalau Adek mau tahun baruan di Bali,” ungkapnya.
Ikhsanul Kamil, kakak Nisa mengungkapkan hal serupa. “Waktu mama telepon, kami keluarga yang lain ikut nimbrung,” ujarnya.
Hanya saja, melalui media sosial BBM, Nisa terakhir chat pada 8 Desember. “Waktu itu saya ulang tahun, jadi Adek mengucapkan selamat. Anaknya kalau ada apa-apa cerita ke ibu lewat telepon,” kata Ikhsan berusaha tabah.