Nuklir Digambarkan Bahan Kimia yang Meledak
”Bukan karena kami memihak salah satu pasangan capres-cawapres. Kami harus menyesuaikan, harus terlihat komikal, demi para penonton penyandang disabilitas,” tegas perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai penyelamat binatang itu.
Saat ini di Indonesia terdapat ratusan ribu penderita disabilitas tunarungu. Dari jumlah itu, dibutuhkan setidaknya empat ribu penerjemah untuk membantu mereka berkata-kata.
”Tapi, jumlah yang ada sekarang masih sangat kurang. Di Jakarta saja baru ada ahli bahasa isyarat 14 orang. Dari 14 orang itu, cuma tujuh orang yang berani tampil,” ungkap Pinky yang juga salah seorang anggota World Association of Sign Language Interpreter (WASLI).
Jika Edik dan Pinky sudah menggeluti profesi sebagai penerjemah sejak 1990-an, Winda Utami termasuk generasi muda penerjemah. Perempuan yang baru lulus dari salah satu perguruan tinggi di Surakarta itu mengungkapkan, aktivitasnya sebagai penerjemah penderita disabilitas didorong kehidupan sehari-harinya di kampus.
”Saya beberapa kali ikut komunitas autisme. Ada penerjemah, tapi tidak banyak. Waktu itu saya awalnya ingin bantu-bantu jadi penerjemah. Ternyata berlanjut sampai sekarang,” papar Winda yang mengaku baru menguasai bahasa isyarat sejak awal 2011.
Dari empat seri debat capres-cawapres, kata Winda, debat keempat yang paling sukses. Pasalnya, para penderita disabilitas merasa puas atas penampilan para penerjemah di layar kaca yang lebih jelas.
”Cuma kadang-kadang terjemahannya agak tidak terbaca karena ada tulisan di bagian bawah layar pesawat televisi,” ucap Winda. (Tri Mujoko Bayuaji /c9/ari)