Nyaman Banar
Oleh Dahlan IskanSaya ingat masa lalu. Nun jauh ke belakang. Yakni saat saya kelas 3 aliyah (SMA). Saya diminta khotbah Idulfitri di masjid desa saya. Itulah pertama kali saya khotbah Idul Fitri. Pun tahun-tahun berikutnya.
Lalu... tidak pernah berkhotbah lagi. Selama 40 tahun lebih. Mungkin juga tidak akan pernah berkhotbah lagi --kalau tidak ada Covid-19.
Dunia bisnis telah membuat saya tidak dikenal di dunia dakwah. Saya sudah dianggap 'binatang ekonomi'. Sudah disamakan dengan suku Tionghoa atau Yahudi.
Ternyata, di masa tua, masih harus berkhotbah lagi.
Tidak mudah berkhotbah di depan hanya 16 orang. Apalagi umur mereka bervariasi --8 tahun sampai 67 tahun. Tema khotbah bisa terlalu rendah atau terlalu tinggi.
Saya putuskan hanya bercerita saja. Yakni cerita bahwa berkat Covid ini saya bisa salat tarawih tiap malam dengan tertibnya.
Juga cerita tentang bagaimana di sepertiga akhir bulan puasa. Yang tarawihnya kami khususkan. Di setiap rakaat terakhir, gerakan rukuk (membungkuk) kami buat lama sekali. Untuk sepenuhnya berserah diri kepada Yang Mahakuasa. Seperti gerakan penyerahan leher kepada pemilik hidup --terserah, mau dipancung sekali pun.
Gerakan sujud rakaat terakhir itu juga sangat lama. Di sujud pertama --setelah bacaan sujud-- kami panjatkan doa untuk kesehatan kami.