Oh Indahnya...Band Gereja Kolaborasi dengan Grup Rebana
”Kalau sudah berkumpul di acara ngaturi, orang yang bukan warga Balun pasti tidak bisa membedakan mana yang muslim, Kristen, atau Hindu,” ujar Sutrisno.
Bentuk toleransi lain antarumat beragama di Desa Balun juga dapat disaksikan setiap Minggu. Biasanya, selepas magrib, masjid mengumandangkan qiro’ atau bacaan Alquran.
Namun, ketika Minggu, suasana desa begitu sunyi. Tidak ada bacaan apa pun yang dikumandangkan masjid, kecuali azan. ”Mereka menghargai kami yang mau melakukan kebaktian,” kata pria kelahiran 24 Agustus 1959 itu.
Tengoklah pula Desa Mopuya Selatan, Kecamatan Dumoga Induk, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Seperti Balun, di Mopuya Selatan toleransi telah demikian mendarah daging.
Ada enam tempat ibadah yang masing-masing hanya dibatasi pagar di desa tersebut. Yakni, Masjid Jami' Al Muhajirin, Gereja Masehi Injili Bolaang Mongondow Jemaat Immanuel Mopuya, Gereja KGPM Sidang Kalvari Mopuya, Gereja Katolik Santo Yusuf Mopuya, Gereja Pentakosta, dan Pura Puseh.
Menurut Kepala Desa Mopuya Selatan Kuswandi Galih, kerukunan hidup warga Mopuya itu sudah terjalin ketika kawasan tersebut kedatangan arus transmigran dari Bali dan Jawa pada awal 1970-an. Bukan hanya tempat ibadah yang menyatu.
Toleransi warga juga terlihat saat perayaan hari besar keagamaan. Persis di Balun. Jika Idul Fitri, umat Kristen dan Hindu yang menjaga pelaksanaan salat Id. Ketika Nyepi, warga dari agama lain turut menjaga, menjadi pecalang. Begitu pula saat Natal.
”Usai kegiatan keagamaan tersebut, biasanya kami juga saling mengundang warga lainnya untuk ikut merayakan di rumah,” ujarnya kepada Radar Bolmong (Jawa Pos Group). (*/JPG/c11/ttg/sam/jpnn)