Oh Indahnya...Band Gereja Kolaborasi dengan Grup Rebana
Kendati insiden sektarian terus saja meletup di sana-sini, Indonesia masih terbilang sangat beruntung. Sebab, tempat seperti Balun tersebar di berbagai sudut negeri.
Mulai Aceh sampai Papua, selalu ada tempat yang menyimbolkan harmoni antarumat beragama. Tempat di mana toleransi terus diuri-uri, dengan berbagai tantangan yang harus dihadapi.
Harmoni di Balun juga bukan tak pernah diuji. Namun, Khusyairi menyebutkan, Balun memiliki cara ”unik” untuk meminimalkan potensi konflik tersebut. Dia mengatakan, pemerintah desa selalu mengikuti berita tentang isu-isu keagamaan yang muncul di media.
Dia mencontohkan, ketika terjadi pembakaran gereja Kristen Protestan pada Oktober 2015, pemerintah desa langsung menghubungi tiga tokoh agama. ”Kami janjian untuk cangkruk (nongkrong, Red),” ujar Khusyairi.
Biasanya, agenda cangkruk diisi dengan ngobrol santai, membahas isu keagamaan yang sedang booming di media. Selanjutnya, tiga tokoh agama tersebut juga diminta untuk mengimbau masyarakat agar tidak terprovokasi.
Menurut Khusyairi, agenda cangkruk tidak melulu harus dilakukan di balai desa. Biasanya mereka berkumpul di warung kopi atau area tambak. ”Kami memang sengaja memilih tempat-tempat ramai supaya warga melihat. Jika tokohnya saja akur, masak warga mau ribut?” lanjut dia, lantas tertawa.
Ketua GKJW Jemaat Lamongan Wilayah Balun Sutrisno juga mengakui tingginya toleransi antarumat beragama di desa yang mencantumkan ”Desa Pancasila” di gapuranya tersebut. Dia mencontohkan salah satu ”tradisi” Balun yang tidak dimiliki daerah lain: menggunakan kopiah pada acara ngaturi.
Ngaturi merupakan serangkaian acara adat untuk hajatan di Lamongan. Biasanya, tradisi ngaturi dilakukan tiga hari sebelum hajatan berlangsung. Nah, ketika acara ngaturi tersebut, seluruh pria di Desa Balun, baik yang beragama Islam, Kristen, maupun Hindu, wajib mengenakan peci.