Oki Setiana Dewi, Perempuan, dan KDRT
Oleh: Dhimam Abror DjuraidNamun, perang ini juga menunjukkan bahwa kepemimpinan perempuan dalam Islam diakui dan diterima di kalangan Islam, meski pun ada juga yang tidak menyetujuinya.
Dalam tradisi Jawa perempuan ditempatkan pada posisi garis belakang, atau ‘’konco wingking’’, partner di belakang, yang bertugas mengurus logistik rumah tangga. Secara pejoratif perempuan disebutkan punya tiga fungsi, sumur, dapur, kasur, yaitu mencuci, memasak, dan melayani suami di tempat tidur.
Ungkapan yang diskriminatif menyebutkan peran perempuan sebagai masak, macak, manak, yaitu memasak, berhias, dan melahirkan anak. Hak-hak perempuan hanya dibatasi pada urusan domestik, masak dan macak, dan fungsi reproduksi, manak.
Perempuan tidak mempunyai independensi untuk menentukan nasib dan pilihan sendiri dan bertanggung jawab terhadap pilihannya. Semua ditentukan oleh laki-laki dan perempuan hanya bisa mengikutinya, ‘’suwargo nunut, neroko katut’’, masuk surga karena ikut suami, dan masuk neraka juga karena ikut suami.
Sejarah emansipasi nasional dipelopori oleh Raden Ajeng Kartini (1879-1904) yang menulis surat-surat kepada sahabatnya Ny. Abendanon di Belanda.
Kartini—yang menjadi istri kedua bupati Rembang—curhat mengenai kondisi perempuan dan keterbatasannya dalam pendidikan.
Kartini mengajukan pemikirannya mengenai emansipasi wanita untuk memberi hak yang lebih luas kepada wanita untuk menentukan nasibnya sendiri.
Surat-surat Kartini itu dikompilasi menjadi buku ‘’Habis Gelap Terbitlah Terang’’ yang menjadi tonggak gerakan emansipasi Indonesia. Kartini meninggal muda dalam usia 25 tahun.