Pajak Warteg
Tiap bulan mereka akan absen satu persatu, seperti punya ATM hidup saja. Sama, jika ini yang terjadi, maka pemberlakuan perda ini perlu dikaji ulang. Sebagai produk hukum, Perda No 11 Tahun 2011 tentang Pajak Restoran itu baik-baik saja. Tidak ada yang salah. Orang atau pihak manapun yang hidup di wilayah hukum DKI Jakarta, dan mendapatkan penghasilan dari usaha di ibu kota, berkewajiban mentaati peraturan yang berlaku. Salah satunya membayar pajak, atas usaha restoran dan warung tegal itu.
Perda itu merupakan turunan dari UU No 28 tahun 2009, tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Perda itu juga sudah disosialisasi selama satu tahun, sejak diketok. Prosedurnya, tidak ada yang salah. Hanya cara akseptabilitas sosialisasinya, apa sudah diuji? Apa sudah dipastikan, semua penjual warteg paham akan hak dan kewajibannya itu? Memang, pajak atau retribusi itu kewajiban konsumen. Harusnya dibebankan pada konsumen, melalui pengusaha warteg, setelah itu baru disetor ke kas daerah dalam bentuk pajak.
Jadi, logikanya, pajak itu tidak mempengaruhi pendapatan bersih warteg. Asal, mereka berani menaikkan harga jual semua jenis makanan dan minuman minimal 10 persen. Kenaikan harga itulah yang menjadi hak daerah.
Tetapi, apa mudah mengubah struktur harga? Menaikkan harga? Sedang mereka juga harus bersaing dengan warteg-warteg lain yang jumlahnya banyak, tersebar di mana-mana? Kalau kompetitor menahan diri tidak naik harga, apa berani nekat menaikkan harga sendirian? Apa konsumen di kelas ini bisa loyal? Bukankan mereka selalu mencari makanan yang lebih enak, lebih banyak dan lebih murah? Perda ini, cita-citanya amat mulia.
Sebagai CEO Provinsi DKI Jakarta, Gubernur Fauzi Bowo pasti ingin performance PAD naik optimal. Sayang, sasaran tembaknya adalah pedagang warung tegal, yang hanya dibidik dari sisi omzet tahunan minimal Rp 200 juta saja. Yang, jika dibagi 360 hari, maka setiap hari menjadi Rp 550.000,-. Tidak dipelajari struktur biaya yang ada.
Membaca omzet saja bisa tertipu, tanpa melihat biaya-biaya di lajur bawahnya. Omzet besar belum tentu berlaba operasional besar. Omzet warteg boleh saja besar, tetapi komponen biayanya juga tidak kecil. Apalagi, April 2012 nanti sudah disambut dengan BBM naik, BBM bersubsidi dicabut, dan TDL juga naik? Inflasi akan merangkak naik, entah berapa? Pengusaha warteg itu tidak pernah menghitung biaya tenaga kerja, termasuk dirinya sendiri yang pontang-panting dari pagi sampai pagi lagi.
Dari mana mendeteksi indikator NPM (net profit margin) atau profit on sales warteg? Apa petugas bisa mendapatkan penjelasan yang akurat, dari pemilik wartag nilai penjualan yang tersisa, setelah dikurangi seluruh biaya, termasuk bunga dan pajak? Diukur dari rasio antara laba bersih setelah pajak dibagi dengan total penjualan? Kalau NPM hanya 10 atau kurang dari itu, lalu harus membayar pajak 10 persen, maka bisa dipastikan akan menuju kebangkrutan.
Apakah warteg sudah memiliki laporan keuangan yang standar? Boro-boro laporan keuangan, catatan jurnal debet-kredit saja mungkin tidak ada? Nah, apakah Pemprov DKI sudah pernah mengadakan pelatihan khusus cara menghitung laba rugi dan neraca keuangan kepada mereka itu? Kalau belum, bagaimana bisa tahu volume usaha warteg yang menjadi objek pajak itu? Kalau tidak tahu, bagaimana bisa membuat tagihan pajak? Kalau tidak ada tagihan, bagaimana mereka mau membayar? Kalau ada tagihan yang tidak sesuai dengan faktanya, apa tidak menimbulkan pungli-pungli baru? Kok seperti kehabisan ide memaksimalkan potensi di sektor yang lebih masuk akal? Hotel, hiburan, restoran besar, parkir? Bagaimana kalau petugas bermuka seram datang? Mengancam, menggebrak, dan membawa pita segel ke tempat usaha wartegnya? Maka jawabannya tinggal: “Wani Piro?”