Pak Bill dan Pak Amien
Oleh: Dhimam Abror DjuraidDalam artikelnya ‘’Sesepuh Bangsa’’ (4/3) Pak Bill dengan terus terang menyebut peran Jokowi dalam kemunculan wacana kepresidenan tiga periode. Kiranya tidak tersangkal lagi, Presiden Jokowi sedang menggalang kekuatan politik agar sidang MPR diselenggarakan dan konstitusi diamendemen demi perpanjangan masa jabatannya.
Mengapa kesimpulan mengenai hal ini begitu pasti? Pak Bill kemudian mengajukan argumen dengan mengemukakan pernyataan tiga pemimpin parpol, Zulkifli Hasan, Airlangga Hartarto, dan Muhaimin Iskandar, yang menghendaki penundaan pemilu. Peran Luhut Binsar Panjaitan oleh Pak Bill juga disebut sebagai faktor yang meyakinkannya bahwa Jokowi berada di belakang wacana ini.
Sama seperti Pak Amien, Pak Bill mengingatkan kita supaya belajar kepada sejarah Orde Baru. Pak Bill mengingatkan juga peristiwa yang mengakhiri kekuasaan Bung Karno bersama Orde Lama. Pak Bill menyarankan Jokowi belajar dari kearifan B.J Habibie yang pada 1999 memutuskan untuk tidak memaksakan diri maju sebagai presiden, setelah pertanggungjawabannya ditolak dalam oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Habibie dianggap sebagai seorang demokrat sejati yang harus diteladani oleh Jokowi. Habibie belajar dari sejarah, belajar dari pengalaman buruk yang terjadi pada Orde Lama dan Orde Baru. Model kepemimpinan yang top-down memaksakan kehendak dari atas ke bawah membawa konsekuensi kehancuran dua rezim itu.
Bung Karno memaksakan demokrasi terpimpin dengan sentral kekuasaan berada di tangannya. Dengan kekuasaan mutlak itu ia mengendalikan demokrasi dari atas ke bawah. Tidak ada inisiatif rakyat, tidak ada kebebasan berpendapat dari rakyat. Dengan kekuasaan yang berpusat di tangannya, Soekarno menasbihkan diri sendiri sebagai presiden seumur hidup.
Akhir dari kisah kekuasaan Soekarno adalah tragedi. Ia digulingkan oleh demonstrasi mahasiswa dan rakyat yang tidak bisa lagi dikendalikan. Legasi Soekarno sebagai proklamator tercoreng oleh tipuan kekuasaan yang membuatnya terlena.
Soeharto melakukan koreksi terhadap Soekarno. Namun, yang dilakukan tidak lebih baik. Soeharto juga memusatkan kekuasaan di tangannya dan mengendalikan negara dengan pendekatan top-down yang otoriter. Soeharto terobsesi oleh stabilitas sebagai prasyarat pembangunan, dan stabilitas itu dicapainya dengan menekan kebebasan rakyat.
Pak Bill menyarankan Jokowi belajar dari kearifan Habibie yang mengubah pendekatan top-down menjadi bottom-up. Memberi kebebasan demokrasi kepada rakyat supaya bisa mempergunakan kebebasan dengan lebih bijaksana. Dengan demokrasi dan kebebasan itu Habibie akan membangun ekonomi dan kesejahteraan berbasis masyarakat madani yang demokratis.