Pak Jokowi...Jika Laut adalah Tubuh, Sungai Tulang Rusuknya
Alih-alih sungai dan rakyat yang hidup di sepanjang bantarannya, laporan tersebut hanya menyisakan 6 lembar capaian di bidang maritim. Empat lembar di sektor ekonomi, dan dua halaman di ranah kebudayaan.
Sebagai negara maritim, anehnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017; 61,36 persen dari 26,58 juta jiwa penduduk miskin Indonesia adalah masyarakat yang hidup di pesisir dan pedesaan.
Satu contoh terang saja. Di Jambi, negeri tua yang disusui rahim Sungai Batanghari, kabupaten termiskin dan terbelakang dalam pembangunan indeks manusianya, adalah Tanjung Jabung Timur (Sabak). Kabupaten yang wilayahnya sebagian besar adalah sungai dan muara sungai yang berhadapan langsung dengan Selat Malaka.
Lalu, di mana peta Nawacita tentang poros maritim dunia?
Ya. Malam tadi, menjelang dini hari 20 Oktober 2018, Istana telah melansir Laporan 4 Tahun Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla. Hanya 6 lembar dari 147 halaman yang bicara maritim.
Dan, tak sedikit pun menyasar sungai serta warga yang dihidupi oleh tulang rusuk negeri maritim.
Belajar dari sejarah. Nusantara sebagai emporium maritim dunia dengan jalur perdagangan laut, dan migrasi orang, serta budaya lintas suku bangsa, mustahil wujud tanpa sungai sebagai penghubung samudera dengan peradaban yang berdenyut di kota, desa, lembah dan gunung yang memunggung.
Pada masanya, samudera memang tubuh, dan sungai adalah jalan raya yang menghidupinya.
Ia ada dalam identitas lokal dan memori kolektif orang di banyak daerah. Hingga kini, pada sungailah kehidupan rakyat Indonesia di pedalaman, diadukan.
Laporan kerja kabinet poros maritim belum memuaskan memang. Pun demikian, keberpihakan, komitmen, serta harapan-harapan untuk kembali berjaya sebagai bangsa samudera, senantiasa mengembang dengan masih adanya Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman.
Yang melaluinya, jika Presiden Jokowi memang serius, di depan masih ada kesempatan.