Pakar Hukum: Putusan BANI Cacat Hukum dalam Sengketa Museum Soeharto di TMII
Selain kontradiksi dalam amar putusan, Rullyandi juga menyoroti adanya ketidaksesuaian fakta hukum dan prosedur dalam proses arbitrase. Dalam pernyataan langsungnya, ia mengungkapkan bahwa proses arbitrase dalam perkara ini tidak dilakukan secara transparan dan berpotensi melanggar prinsip keadilan.
“Salah satu pihak diduga menyembunyikan dokumen yang sangat penting, seperti dokumen penolakan cek kosong, yang dapat memengaruhi jalannya perkara. Tindakan semacam ini menunjukkan kurangnya itikad baik dalam proses arbitrase,” ujar Rullyandi.
Selain itu, ia juga menggarisbawahi kemungkinan adanya tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam persidangan. "Jika terbukti, ini menjadi dasar kuat untuk membatalkan putusan sesuai dengan Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase," tambahnya.
Rullyandi juga menjelaskan bahwa proses arbitrase ini mencerminkan kurangnya objektivitas dan profesionalisme.
Proses arbitrase yang tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh, jujur, dan terbuka dapat mencederai kepercayaan masyarakat terhadap lembaga arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa yang independen.
Implikasi Hukum
Rullyandi menegaskan bahwa putusan arbitrase yang cacat hukum seperti ini dapat diajukan pembatalannya ke pengadilan.
“Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memiliki kewenangan penuh untuk menganulir putusan yang tidak memenuhi prinsip keadilan dan kepastian hukum. Hal ini diatur secara jelas dalam Pasal 72 UU Arbitrase,” jelasnya.