Pakar Mengapresiasi Terobosan Jaksa Agung di Bidang Hukum
Hal senada disampaikan pakar hukum pidana Suparji Ahmad. Dia mengatakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat bukan hanya tugas Kejaksaan Agung tetapi multi sektoral. Tidak mungkin Kejaksaan berjalan sendiri menuntaskannya.
Pasalnya, sampai dengan hari ini belum dibentuk pengadilan HAM Adhoc untuk kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
“Pembentukan pengadilan HAM Adhoc juga bukan wewenang Kejaksaan, tetapi melalui rekomendasi DPR dan dibuatkan Keppres,” kata dia.
Kalau belum ada pengadilan HAM Adhoc, berkas perkaranya akan dibawa kemana apabila Kejaksaan melakukan penyidikan lebih lanjut.
“Jadi, kalau ada tuntutan copot Jaksa Agung dengan alasan tak bisa selesaikan pelanggaran HAM berat menurut saya membingungkan,” kata akademisi dari Universitas Al-Azhar Indonesia ini.
Terobosan lain, lanjut Prof. Hibnu, yakni pembentukan Satuan Tugas (Satgas) 53 oleh Jaksa Agung guna mencegah dan menindak jaksa atau pegawai Kejaksaan yang melakukan perbuatan tercela atau menyalahgunakan wewenang.
“Ini juga terobosan yang patut ditiru aparat penegak hukum (APH) lainnya. Biasanya kalau ada oknum APH nakal harus menunggu laporan dulu, tetapi Satgas 53 bisa segera bertindak guna mencegah perbuatan tercela dan menindak oknum jaksa atau pegawai yang nakal,” jelasnya.
Prof. Hibnu menambahkan terobosan besar Jaksa Agung ST Burhanuddin adalah konsep keadilan restoratif (restorative justice) yang berlandaskan hati nurani.