Pakar: Tidak Ada Lagi yang Menerapkan Presidensial dan Parlementer Murni
jpnn.com, JAKARTA - Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Didik Supriyanto mengatakan, tidak ada lagi negara yang menerapkan sistem presidensial atau pun sistem parlementer secara murni.
“Setelah Uni Soviet jatuh, karakter parlementer atau presidensial itu kan sudah banyak berubah. Sehingga, di kalangan akademisi muncul istilah presidensialisasi sistem parlementer dan parlementarisasi sistem presidensial,” kata dia saat menjadi pembicara dalam diskusi online bertema “Presidensial vs Parlementer” yang digelar PSI, Rabu (21/4).
Didik menerangkan, presidensialisasi sistem parlementer terjadi di beberapa negara di Eropa. Salah satu modifikasi dari sistem ini adalah pengetatan mosi tidak percaya kepada kabinet.
“Dulu, begitu mayoritas parlemen tidak setuju dengan kabinet, ya sudah dijatuhkan melalui mosi tidak percaya,” tambah dia.
Dalam kasus ini, jika kabinet hendak dijatuhkan maka oposisi harus menyiapkan pemerintahan baru terlebih dahulu, termasuk menunjuk Perdana Menteri baru yang akan menggantikan. Barulah kabinet bisa dijatuhkan. Apabila prasyarat itu tidak dipenuhi, oposisi tidak bisa menjatuhkan mosi tidak percaya kepada kabinet.
Kedua, tambah Didik, ciri dari presidensialisasi sistem parlementer ini adalah pengetatan pembubaran parlemen, menjurus ke masa kerja parlemen yang tetap (fixed term).
Corak ketiga dari sistem ini adalah, persetujuan resmi atas pembentukan kabinet.
Terakhir, menurut Didik, modifikasi sistem ini membuat adanya upaya penguatan tanggung jawab kolektif atau yang disebut dengan ministerial code atau cabinet manual.
Inovasi konstitusi yang menyebabkan modifikasi sistem pemerintahan itu, ujar Didik, diikuti juga oleh inovasi pemilu, yaitu menerapkan sistem pemilu campuran (MPP dan Paralel).