Paling Sulit Cegah Pengunjung Naik di Bebatuan
Pada hari libur nasional biasanya pengunjung melimpah. Banyak warga dari kota yang memanfaatkan tempat rekreasi baru tersebut untuk melepas lelah dan mencari udara segar. Nah, saat itulah Nanang dkk harus kerja ekstrakeras. Sebab, tidak sedikit pengunjung yang penasaran, lalu memegang, menduduki, bahkan mencoret-coreti. Karena itu, Nanang bersama delapan petugas lain harus rajin mengelilingi situs seluas 3 hektare tersebut untuk memastikan para pengunjung tidak melakukan hal-hal yang membuat warisan budaya itu rusak. Fokus mereka adalah area utama situs yang mencapai 900 meter persegi. Ketika pengunjung sangat ramai, pengawasan difokuskan di area yang terdiri atas lima undak berjajar itu.
”Sebisa mungkin setiap juru pelihara dapat mengawasi gerak-gerik pengunjung satu per satu,” tegasnya.
Salah satu hal yang paling sulit dilakukan Nanang dkk adalah mencegah pengunjung naik ke batu-batu balok yang masih berdiri. Batu berukuran jumbo itu memang benda favorit untuk pengambilan foto.
Dulu, ketika pengunjung masih sepi, banyak batu yang masih berdiri tegak. Batu-batu itu membentuk sekat-sekat mirip kotak-kotak ruang. Namun, setelah banyak pengunjung yang sering menduduki atau menaiki, kini banyak batu tersebut yang roboh. Akibatnya, bentuk sekat-sekat ruangnya ikut rusak. Itulah yang sangat disayangkan karena kecerobohan pengunjung itu membuat konstruksi situs berubah.
Konon setiap undak di situs tersebut digunakan sebagai tempat pemujaan warga pada masa Prasejarah, sekitar tahun 2000 sebelum Masehi. Semakin tinggi undak yang digunakan memanjatkan doa, semakin tinggi derajat keagamaan masyarakat setempat.
”Sangat disayangkan kalau batu-batu yang masih berdiri itu akhirnya roboh. Memang, paling sulit adalah mencegah pengunjung untuk tidak menaikinya,” papar Nanang.
Tidak hanya bisa merusak situs, aksi nakal para pengunjung bisa membahayakan mereka sendiri. Sebab, batu-batu itu hanya tertancap di tanah. Tidak ada fondasinya. Dengan demikian, bila tidak kuat menahan beban di atasnya, batu-batu tersebut bisa-bisa roboh dan menimpa pengunjung. ’’Ini yang kami khawatirkan selama ini,’’ ungkapnya.
Menjadi juru pelihara situs Gunung Padang sejak 1994, Nanang merasakan banyak suka dan dukanya. Sebab, pekerjaan itu termasuk profesi yang tidak biasa bagi orang di sekitar Gunung Padang. Orang-orang di sana umumnya lebih tertarik menjadi pedagang atau petani. Banyak juga yang memilih merantau ke kota, termasuk Jakarta.