Paling Sulit Cegah Pengunjung Naik di Bebatuan
”Sejak muda saya diperkenalkan ke situs ini oleh orang tua. Itulah yang membuat saya tertarik menjadi juru pelihara di sini,” kenangnya.
Awalnya Nanang bekerja secara swadaya alias pegawai honorer untuk menjaga situs itu. Mereka mendapatkan gaji dari uang yang disisihkan dari pemasukan tiket masuk. Dia rata-rata mendapat honor Rp 500 ribu per bulan.
Tetapi, setelah diangkat sebagai PNS pada 1997, kesejahteraan Nanang meningkat. Dia juga bekerja seperti halnya PNS pada umumnya, mulai pukul 08.00 hingga 15.00. Tapi, dia kadang harus melembur karena ada pengunjung yang datang malam untuk melakukan kegiatan ritual.
Para juru pelihara situs Gunung Padang kompak tidak mengenakan pakaian seragam PNS pada umumnya. Mereka mengenakan pakaian adat Sunda lengkap dengan ikat kepala. Ornamen busana lain yang tidak boleh ketinggalan adalah pin kujang yang menempel di baju. Kujang merupakan senjata adat orang-orang Sunda. Penggunaan pin kuningan berbentuk kujang itu menjadi tanda bahwa para juru pelihara bertekad untuk melestarikan kebudayaan orang-orang Sunda.
’’Kalau tidak ada yang mau peduli dengan situs ini, kami tidak tahu bagaimana kondisinya nanti,’’ ujar Asep Sudrajat, juru pelihara yang lain.
Di antara sembilan juru pelihara Gunung Padang, Asep memang paling senior. Pria 46 tahun itu memulai karir sebagai petugas penjaga cagar budaya tersebut pada 1986. Saat itu dia hanya berdua dengan kawannya, Dahlan. Itu pun statusnya ”tidak jelas”. Yang penting, kata Asep, dirinya ingin situs prasejarah itu tidak dirusak orang.
’’Ketika itu masih banyak batu yang belum muncul seperti sekarang. Banyak yang masih tertutup tanah dan rumput-rumput tinggi,’’ kata Asep yang tinggal tidak jauh dari situs Gunung Padang.
Situs Gunung Padang ditemukan pada 1949 oleh warga. Tapi, dikelola secara resmi pemerintah mulai 1979. ’’Meski kami hanya dua orang, dulu kerjanya tidak terlalu berat. Karena pengunjungnya belum seramai sekarang,’’ ujar Asep.