Pancasila dan Ancaman Amplifikasi Hoaks
Kelahiran Pancasila
Sejak tahun 2017, tanggal 1 Juni resmi menjadi hari libur nasional untuk memperingati hari Lahir Pancasila. Penetapan ini merupakan bagian dari perjalanan panjang sejarah kelahiran Pancasila. Rumusan awal Pancasila sebagai dasar negara disampaikan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945, tepatnya dalam sidang Dokuritsu Junbi Cosakai atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Pidato tersebut pada awalnya disampaikan oleh Soekarno secara aklamasi tanpa judul dan baru mendapat sebutan "Lahirnya Pancasila" oleh mantan Ketua BPUPKI Dr. Radjiman Wedyodiningrat dalam kata pengantar buku Lahirnya Pancasila. Wedyodiningrat menilai bahwa pidato Soekarno berisi tentang lahirnya Pancasila.
Soekarno dalam pidatonya mengelaborasi lima sila untuk dijadikan sebagai dasar negara Indonesia. Lima sila tersebut antara lain: Kebangsaan Indonesia (nasionalisme), Internasionalisme (peri-kemanusiaan), Mufakat (demokrasi), Kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan yang berkebudayaan. Kelima sila ini kemudian dirumuskan kembali pasca-sidang pertama BPUPKI dan dimasukkan ke dalam Piagam Jakarta yang dibacakan pada rapat pleno kedua sidang BPUPKI pada 10 dan 14 Juli 1945 dengan rumusan:
“… ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Pada sore hari tanggal 17 Agustus 1945, wakil-wakil Indonesia dari daerah Kaigun (Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan), di antaranya A. A. Maramis menemui Soekarno menyatakan keberatan dengan rumusan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” untuk ikut disahkan menjadi bagian dari dasar negara.
Untuk menjaga integrasi bangsa yang baru diproklamasikan, Soekarno segera menghubungi Hatta untuk sama-sama bertemu dengan wakil-wakil golongan Islam. Semula, wakil golongan Islam, di antaranya Teuku Moh Hasan, Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo keberatan dengan usul penghapusan itu.
Setelah diadakan konsultasi mendalam akhirnya mendapat persetujuan untuk melakukan penggantian rumusan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dengan rumusan baru yakni: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Perubahan rumusan ini didasarkan pada pertimbangan demi keutuhan Indonesia.