Pansus Pilpres Tanda Prabowo-Hatta Tak Pede
jpnn.com - JAKARTA - Direktur Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jeirry Sumampow mengaku heran dengan rencana kubu Prabowo-Hatta membentuk Pansus Pilpres. Pasalnya, hal itu dilakukan saat proses sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi masih berlangsung.
Menurutnya, dengan menggulirkan pembentukan Pansus, Prabowo-Hatta secara tidak langsung telah mengakui kekalahan di MK. "Kalau mereka yakin menang tidak mungkin bentuk pansus," kata Jeirry di Jakarta, Senin (4/8).
Jeirry menjelaskan, Pansus justru akan menjadi senjata makan tuan jika Prabowo-Hatta menang di MK. Pasalnya, pembentukan Pansus didasari dugaan adanya kecurangan di dalam penyelenggaraan pemilu presiden. "Jadi pembentukan pansus malah akan menegasi hasil kemenangan mereka sendiri," tuturnya.
Lebih lanjut Jeirry juga menilai bahwa Pansus akan sangat membuang-buang waktu kerja DPR yang tinggal tersisa dua bulan saja. Padahal, masih banyak rancangan undang-undang yang belum selesai dibahas. "Jadi lebih baik terima saja apapun hasil MK nanti," pungkasnya.
Sementara Juru bicara pribadi Jusuf Kalla, Poempida Hidayatullah menyatakan bahwa ide membentuk pansus pilpres bisa saja mental jika ternyata format koalisi berubah. Sebab, koalisi yang digagas partai-partai menjelang berakhirnya masa kerja DPR periode 2009-2014 bisa mengalami perubahan.
"Koalisi pendukung pemerintah dan parlemen ke depan statusnya belum final. Jika kemudian formasi koalisi mengalami perubahan, maka bisa saja wacana pembentukan pansus pilpres hanya menjadi obrolan warung kopi biasa," kata Poempida dalam keterangannya, Senin (4/8).
Poempida menambahkan, persoalan pilpres kini telah menjadi sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, konstitusi memberi kesempatan untuk menggugat hasil pemilu ke MK. "Apa pun keputusan MK akan jadi suatu keputusan yang final dan mengikat,” tegasnya.
Terkait ide pembentukan pansus pilpres, Poempida lantas membandingkannya dengan para anggota DPR RI 2009-2014 yang mengumpulkan tanda tangan untuk mengajukan hak angket tentang penyelenggaraan Pemilu Legislatif (Pileg) 2014. Sebab, pelaksanaan pileg 9 April lalu diwarnai berbagai penyimpangan mulai dari politik uang, transaksi jual beli suara, penggelembungan suara, hingga pemalsuan dokumen pemilu.