Panwas Bolehkan Mantan Napi Caleg, Ada Apa dengan Bawaslu?
jpnn.com, JAKARTA - Sejumlah perwakilan dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih mendatangi kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI.
Mereka menyampaikan surat terbuka, meminta agar Bawaslu mengoreksi keputusan pengawas pemilu di enam daerah yang mengabulkan permohonan sengketa bakal calon anggota legislatif mantan narapidana korupsi.
Keenam pengawas pemilu yang mengabulkan permohonan bakal caleg mantan narapidana korupsi masing-masing di Aceh, Toraja Utara, Sulawesi Utara, Pare-Pare, Rembang, dan Bulukumba.
"Sikap Bawaslu mengabulkan permohonan sengketa pencalonan mantan napi korupsi yang sebelumnya dinyatakan tidak memenuhi syarat oleh KPU, tidak hanya melukai impian kami mempunyai legislatif bersih, tapi juga membuat kami bertanya-tanya, ada apa dengan Bawaslu," ujar perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih Hadar Nafis Gumay di Gedung Bawaslu, Jakarta, Jumat (31/8).
Menurut Hadar, perdebatan mengenai larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif di pemilu 2019, seharusnya sudah selesai saat Menkumham mengundangkan Peraturan KPU Nomor 14/2018 tentang Pencalonan Anggota DPD dan PKPU Nomor 20/2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Kota.
Kedua PKPU itu beberapa waktu lalu telah dicantumkan dalam lembaran negara, sehingga sah dan berlaku mengikat.
"Pasal 76 ayat 1 UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu telah mengatur, bahwa dalam hal Peraturan KPU diduga bertentangan dengan undang-undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA). Ketentuan yang sama diatur dalam Pasal 9 ayat 2 UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan," ucap Hadar.
Artinya, kata Hadar kemudian, Bawaslu seharusnya tidak potong kompas dan menarik kesimpulan sendiri. Karena koreksi atas Peraturan KPU bukan ranah dan wewenang Bawaslu. Selan itu, sampai saat ini juga belum ada putusan MA yang menyebutkan Peraturan KPU bertentangan dengan undang-undang.