Para Korban Cerita Detik-detik Runtuhnya Selasar Gedung BEI
Di gamis abu-abu yang dikenakan Hervita banyak noda darah di bagian bawah. Saat berjalan, dia terpincang-pincang. Kaki kirinya memar. ”Sama punggung juga,” ucap perempuan asli Bengkulu tersebut.
Itu pun Hervita masih terbilang ”beruntung”. Sebab, banyak temannya yang mengalami patah kaki atau tangan. Di rumah sakit Hervita juga tetap sigap keluar masuk bilik di IGD.
Tas selempang yang menggantung di bahunya bergerak naik turun ketika dia berjalan. Dia memantau kawan-kawannya yang juga mendapatkan perawatan.
Tak lupa pula Hervita langsung mengontak keluarga sesampai di Siloam yang berjarak 4,3 kilometer dari BEI. ”Untuk biaya, tadi katanya ditanggung BEI,” ungkapnya.
Teti Siahaan, korban lain, juga mengaku masih pusing. Meski perempuan 50 tahun itu pasien pertama korban ambruknya balkon BEI yang diperbolehkan pulang oleh dokter.
”Cuma, nanti saya mau CT scan kepala. Punggung juga mau dirontgen,” kata karyawan BEI tersebut.
Teti merupakan karyawan BEI. Waktu kejadian, dia akan makan siang. ”Saya berada dekat dengan resepsionis,” ujarnya.
Sebelum balkon runtuh, Teti sempat mendengar suara runtuhan. Dia menggambarkan suara tersebut seperti retakan tegel. Dia juga sempat merasakan debu runtuhan mulai jatuh. ”Gak lama langsung bruk. Alarm dan water spray-nya nyala,” ujarnya.