Parigi Moutong
Benar atau salah negara saya. Right or wrong my country, menjadi semboyan untuk membela negara-negara dengan cara apa pun. Orang-orang nasionalis, liberalis, maupun fasis, menerjemahkan ungkapan itu dengan caranya masing-masing.
Kejahatan yang dilakukan tentara Amerika Serikat dalam perang Vietnam selama kurun waktu 20 tahun sejak 1955 sampai 1975 adalah bagian dari pembelaan terhadap kepentingan negara. Pembunuhan orang-orang sipil satu desa dengan pembakaran bom napalm adalah bagian dari tugas negara.
Kejahatan terhadap kemanusiaan yang mengerikan menjadi sesuatu yang biasa, karena dilakukan atas nama negara. Benar atau salah tidak menjadi pertanyaan, sepanjang masih dijustifikasi atas nama kepentingan negara.
Dalam tradisi pewayangan, darma kepada negara melahirkan kekerasan skala masif dalam Perang Barata atau Baratayuda. Sesama saudara saling membunuh, sesama saudara saling mengkhianati dengan berbagai intrik, semuanya dilakukan atas nama darma kepada negara.
Kisah epik pewayangan menampilkan tokoh-tokoh nasionalis pembela negara yang mempunyai motif yang berbeda-beda. Dalam kisah Baratayuda Adipati Karna, seorang ksatria yang jujur dan berintegritas, membela Kerajaan Astina yang zalim terhadap Pandawa.
Adipati Karna seorang ksatria profesional yang tangguh dan sakti mandraguna tidak ada tanding. Satu-satunya ksatria yang bisa menandingi Karna adalah Arjuna yang masih bersaudara.
Arjuna menolak bertarung melawan Karna, tetapi Batara Kresna meyakinkan Arjuna bahwa darma seorang ksatria harus dilaksanakan dengan risiko apa pun.
Kresna bersedia menjadi kusir Arjuna dalam perang saudara melawan Karna. Panah Pasopati Arjuna akhirnya menembus leher Karna yang gugur ke bumi dengan tersenyum tanpa dendam atau sakit hati. Dua ksatria saling membunuh dengan alasan masing-masing.