Pasar Apung
Oleh: Dahlan IskanYang wanita mandinya sambil mengenakan sarung yang dililit sampai atas dada. Cara menyabun badan pun sama dengan laki-laki yang pakai celana kolor.
Sudah lama tidak ada lagi pemandangan seperti itu di Karang Asam. Modernisasi sudah mengubah cara mandi, apalagi kualitas air Mahakam sendiri sudah kian parah.
Di umur 72 tahun ini saya melihatnya lagi di sepanjang sungai Martapura.
Di sini saya juga melihat suami istri berperahu kecil menuju kebun. Perahu tanpa atap. Lebar perahu hanya cukup untuk satu badan. Suami istri itu duduk berjauhan. Satu di depan. Satu di belakang. Mereka sibuk menyingkirkan ilung, tanaman mengapung yang memblokir pinggiran sungai.
Suami istri itu perlu menerobos ilung untuk masuk parit kecil. Kebun itu rupanya berada di pinggir parit tersebut.
Begitu lama saya tidak melihat orang ke kebun naik perahu kecil. Dekade sudah sering berganti. saya melihatnya lagi di dekade ini.
Setelah setengah jam melihat masa lalu seperti itu sampailah di lokasi pasar terapung. Perahu kami disambut banyak perahu kecil yang membawa dagangan: nasi kuning haruan, nasi kuning hintalu, air dalam botol, pisang, jeruk, rambutan, kesemek, dan segala hasil bumi sekitar sungai itu. Perahu kami seperti terkepung puluhan perahu kecil.
Tidak ada skenario akan membeli apa pun di situ. Tetapi tidak mungkin. Seorang ibu begitu agresif menawarkan dagangan. Seorang remaja putri menempelkan perahunyi ke perahu kami.