'Pasukan Khusus' Kades Selok Awar-awar Gedor Pintu Warga yang Ikut Teken
Karena laporan ke DPRD dan pemkab tidak membawa hasil, warga Desa Selok Awar-Awar meminta bantuan Hamid yang lama tinggal di Jakarta. Warga tahu beberapa tahun silam Hamid terlibat dalam perlawanan penambangan liar di desa lain.
Perjuangan kelompok antitambang itu secara masif digerakkan pada awal 2015 dengan membentuk Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir.
"Kami murni berjuang karena kerusakan alam yang menyebabkan terganggunya kehidupan. Bukan karena tidak mendapatkan uang dari pungutan-pungutan yang dilakukan di tambang tersebut," ujar Hamid.
Tak dipedulikan di lingkup Lumajang, kelompok antitambang itu akhirnya menempuh jalur lain. Mereka mengadu ke sejumlah instansi di Jakarta. Tercatat tiga kali mereka berangkat ke ibu kota.
"Kami urunan dengan menjual apa pun yang kami punya," kata Hamid. Bahkan, ada warga bernama Sapari yang sampai menjual gudel (anakan kerbau) buat sangu ke Jakarta.
Di Jakarta, perwakilan warga mendatangi sejumlah instansi dan LSM (lembaga swadaya masyarakat). Mulai ICW (Indonesia Corruption Watch), Walhi, KPK, hingga Istana Presiden. Mereka juga mengirimkan surat keberatan yang ditandatangani 41 warga penggarap sawah di Desa Selok Awar-Awar.
Aduan ke sejumlah instansi itu rupanya membuahkan hasil. Sekitar Juni lalu, warga mengetahui ada surat tembusan ke Kepala Desa (Kades) Selok Awar-Awar Haryono. Isinya, Kades diminta menyelesaikan masalah tersebut dengan menghentikan kegiatan penambangan.
Haryono memang sempat berjanji menghentikan penambangan liar. Tapi, janji itu ternyata hanya bualan. Puluhan hingga ratusan truk setiap hari masih hilir mudik untuk mengambil pasir di pesisir pantai.