Patah Hati Meningkatkan Risiko Kematian?
jpnn.com - Orang yang patah hati cenderung larut dalam kesedihan. Apalagi, bila menjelang Hari Valentine, kesedihan yang dirasakan tentunya menjadi lebih dalam. Karena di hari kasih sayang tersebut orang lain akan merayakannya bersama pasangan. Sedangkan, orang yang patah hati harus melewatkannya seorang diri.
Anda pernah mengalaminya? Hati-hati, stres berat yang terjadi akibat kondisi ini dapat menyebabkan peningkatan risiko gangguan jantung. Anggapan di atas yang mengaitkan patah hati dan risiko kematian ternyata memang bukan sekadar mitos.
Patah hati dan gangguan jantung
Kondisi patah hati dapat disebabkan oleh berbagai pencetus yang berbeda, salah satunya karena kehilangan pasangan yang dicintai. Tekanan mental yang berat pada akhirnya dapat menyebabkan peningkatan risiko depresi, sehingga terdapat hubungan kuat antara depresi, kesehatan mental dan penyakit jantung.
Salah satu penyakit jantung yang dapat terjadi akibat patah hati adalah broken heart syndrome atau sindrom patah hati. Broken heart syndrome adalah sejenis gangguan otot jantung (kardiomiopati) yang disebabkan oleh stres, atau dalam dunia medis dikenal dengan kardiomiopati Takotsubo. Penyakit ini lebih sering dialami oleh wanita.
Penyebab yang mendasari gangguan ini adalah adanya lonjakan hormon stres yang biasanya muncul saat seseorang merasakan kesedihan yang mendalam atau depresi, seperti saat Anda patah hati.
Pada saat mengalami broken heart syndrome, jantung Anda sementara akan mengalami pembesaran dan tidak dapat memompa dengan baik. Yang perlu dikhawatirkan, kondisi ini dapat menyebabkan kegagalan otot jantung jangka pendek namun dengan intensitas yang parah.
Namun, untungnya penyakit ini dapat diobati dan bahkan dapat mengalami pemulihan penuh dalam beberapa minggu. Meski demikian, hal yang membahayakan bisa terjadi bila terjadi komplikasi pada saat Anda terkena broken heart syndrome.