Pembunuhan dan Penindasan yang Menyatukan Saudi - Tiongkok
jpnn.com - Belum genap setahun MBS melakukan safari ke negara-negara Barat. Dia datang ke AS, Inggris, dan Prancis sebagai petinggi termuda sepanjang sejarah Kerajaan Arab Saudi. Pangeran tersebut ingin menunjukkan bahwa demokrasi kini sudah tumbuh di Arab Saudi.
Gimik seperti menerbitkan izin menyetir bagi perempuan atau bioskop pertama sempat memancing euforia. Namun, pengkritik tetap bernada sinis. Ujung-ujungnya, Jamal Khashoggi, jurnalis yang sering mengkritik rezim Raja Salman, tewas terbunuh di Konsulat Jenderal Arab Saudi di Istanbul, Turki.
"Alasan terbesar Visi 2030 macet adalah skandal Jamal Khashoggi. Banyak investor Barat yang mundur karena takut dituduh mendukung rezim pembunuh," ujar Ameem Lutfi, peneliti di Middle East Institute dari National University of Singapore, dalam editorial South China Morning Post.
Arab Saudi pun seperti murid nakal yang disetrap di luar kelas. Namun, Saudi bukanlah satu-satunya negara yang dihukum AS dan negara-negara Barat lainnya. Tiongkok juga mendapat banyak protes terkait isu perang dagang, penindasan kaum Uyghur, dan tuduhan mata-mata melalui perusahaan teknologi Huawei.
Pakistan juga baru saja mendapat masalah karena dianggap melindungi kelompok militan Jaish-e-Mohammed dan Jaish Al Adl. Dua kelompok tersebut melakukan serangan bom bunuh diri di India dan Iran. Ketiganya tentu tak nyaman dengan semua tuduhan itu.
Prinsip negara-negara tersebut pun terbentuk. Menjalin kerja sama berdasar perdagangan, bukan isu HAM.
"Tiongkok tak pernah memilih sisi. Dia lebih percaya hubungan yang seimbang dan saling menguntungkan," ujar Asisten Profesor Shanghai International Studies University Zou Zhiqiang kepada New York Times.
Benar saja, Arab Saudi cenderung diam soal isu muslim Uyghur. Sedangkan Tiongkok juga tak pernah komentar soal kasus Jamal Khashoggi. Mereka hanya fokus untuk saling memperkaya pundit-pundi negara. (bil/c10/dos)