Pemerintah Dianggap Tidak Memihak Pemberantasan Korupsi
Dia mengingatkan, jangan sampai justru yang terlihat oleh publik adanya narapidana kasus korupsi yang diduga sempat mendapatkan fasilitas sel mewah malah diberikan pengurangan hukuman. "Tentu hal ini harus dipandang sebagai pelanggaran prosedur, sehingga yang bersangkutan sepatutnya tidak layak mendapatkan remisi," katanya.
Menurut Kurnia, kekhususan remisi pada narapidana tindak pidana korupsi semata-mata dilaksanakan karena kejahatan korupsi telah dikatagorikan sebagai extraordinary crime. Menurut dia, hal ini berarti bahwa perlakuan pada pelaku korupsi tidak bisa disamaratakan seperti tindak pidana lainnya.
"Jadi, tidak dibenarkan jika adanya pernyataan dari KemenkumHAM yang menyebutkan pertimbangan pemberian remisi pada narapidana korupsi hanya terbatas pada berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari enam bulan," paparnya.
Terkait dengan itu, maraknya pemberian remisi pada narapidana kasus korupsi bagaimanapun akan menganggu stabilitas dari pemberian efek jera pada sistem peradilan pidana. Keberadaan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) harus dimaknai penting sebagai hilir dari pemberian efek jera.
"Jika masih terus menerus terjadi kelonggaran pada pemberian remisi maka kinerja dari penegak hukum pada ranah penyelidikan, penyidikan, dan penunututan serta peran institusi kehakiman pada ranah pemberian hukuman akan menjadi sia-sia saja," paparnya.
Selain itu hal yang perlu dikritisi adalah keterbukaan informasi pada Kemenkumham, karena hingga hari ini tidak ada data yang dipaparkan mengenai total narapidana kasus korupsi yang mendapatkan remisi.
Harusnya ini dijadikan evaluasi, karenabagaimanapun peran masyarakat sebagai control kebijakan publik dapat berjalan. "Jangan sampai ada kesan yang terlihat Kemenkumham seperti menutup-nutupi jumlah serta narapidana korupsi mana saja yang mendapatkan remisi," katanya. (boy/jpnn)