Pemerintah Diminta Lakukan Moratorium Kebijakan Cukai Demi Menjaga Kelangsungan Usaha IHT
jpnn.com, JAKARTA - Akademisi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Bambang Eko Afiatno berpandangan, kenaikan tarif cukai perlu dilakukan dengan hati-hati karena dapat memperberat daya beli konsumen.
Bambang menilai rekomendasi Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) terkait moratorium atau relaksasi kenaikan tarif cukai merupakan hal strategis.
Hal itu bertujuan untuk menekan dampak terhadap belanja rumah tangga. Mengingat sampai saat ini, pemerintah masih kurang mengakui peran tembakau dalam penerimaan APBN.
"Banyaknya peraturan yang padat regulasi (heavy regulated), semakin memberatkan produsen untuk menjaga kelangsungan usaha IHT di Indonesia," ujar Bambang dalam focus group discussion (FGD) yang digelar PPKE FEB UB di hotel Atria, Malang.
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Jember, Dr. Fendi Setyawan, menekankan pentingnya desain kebijakan pemerintah dalam mendukung keberlangsungan IHT.
Pasalnya, tembakau belum bisa diproduksi selain IHT sehingga kebijakan pemerintah akan sangat berdampak terhadap keberlangsungan IHT.
"Regulasi terkait tembakau, seperti PP No. 28 Tahun 2024, Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang menuai penolakan banyak pihak, seharusnya disusun dengan mempertimbangkan perlindungan terhadap petani tembakau dan IHT," ungkapnya.
Sementara, akademisi Universitas Brawijaya, Dr. Rahmat Kresna Sakti menyoroti fenomena konsumen cenderung beralih ke rokok ilegal jika harga rokok legal naik terlalu tinggi. Akibatnya target penerimaan negara dari sektor cukai hasil tembakau tidak tercapai. Di lain sisi, massifnya peredaran rokok ilegal harus menjadi perhatian extra ordinary bagi pemerintah.