Peneliti Menduga Provokasi Tiongkok di Laut Natuna karena Ini
Ferdy juga mengatakan, pemerintah Jokowi perlu mengundang perusahaan-perusahaan lain untuk mengembangkan potensi migas di East Natuna. Seperti Petronas (Malaysia), Total E&P (Prancis) plus ExxonMobil, dengan porsi Pertamina tetap dominan di atas 50 persen.
"Keberadaan ExxonMobil dan negara-negara tetangga seperti Malaysia di East Natuna memberikan dampak dan dukungan positif bagi penguatan daerah perbatasan di Natuna," katanya.
Ferdy juga mengatakan, Blok East Natuna tercatat setidaknya memiliki cadangan gas lebih dari 200 TCF (Trillion Cubic Feet), tetapi komersialisasi aset juga terbentur isu 70 persen karbondiokida (CO2).
Memisahkan CO2 dengan minyak dan gas dibutuhkan biaya dan teknologi mumpuni. Berdasarkan taksiran pemerintah, pengembangan blok East Natuna membutuhkan biaya sekitar USD 40 miliar.
Artinya, pengembangan Blok East Natuna lebih besar dari biaya investasi untuk pengembangan Liquefied Natural Gas (LNG) Abadi di Blok Masela-Maluku yang dikembangkan oleh perusahaan Jepang, INPEX Corporation sebesar USD 20 miliar.
Pengembangan blok east Natuna juga jauh lebih besar dari pengembangan gas Tangguh Train3, yang dikelola BP Tangguh di Teluk Bintuni, Papua Barat. Kisaran besaran investasi menunjukkan bahwa Blok East Natuna adalah primadona bagi sektor energi nasional.
"Tak mengherankan jika China mengklaim itu wilayah teritorial mereka di Laut China Selatan. Saya berharap pengembangan Blok East Natuna bisa segera rampung dan pemerintah Indonesia lebih taktis mengikat ExxonMobil, Total E&P, PTT atau Petronas untuk bermitra dengan Pertamina," katanya.
Ferdy juga mengatakan konsumsi gas domestik naik 100 persen selama 10 tahun terakhir, sementara ekspor mengalami penurunan. Indonesia masih impor gas sebesar 2,1 juta ton pada 2016.