Pengabaian Wilayah Pinggiran dan Denasionalisme
Oleh; La Ode Ida*jpnn.com - BARU-BARU ini ada berita dari wilayah perbatasan yang sedikit mengagetkan. Dikabarkan ribuan warga bangsa ini yang berdomisili di Kecamatan Lumbias Ogong, Nunukan, Kalimantan Utara, telah berpindah status kewarganegaraan, eksodus ke Negara Bagian Sabah ataupun memiliki KTP ganda (Indonesia dan Malaysia). Konon, penyebabnya adalah faktor ekonomi, kesehatan, dan pendidikan yang tak terlayani dengan baik.
Jika informasi itu benar, sulit dibantah bahwa pemerintah telah gagal menjalankan tugas konstitusi, khususnya terkait pernyataan dalam pembukaan UUD 1945: ’’… melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa …’’.
Pada tingkat tertentu, lagi-lagi jika berita itu benar, sebenarnya pihak penyelenggara negara yang harus dikenai sanksi, baik itu parlemen maupun kepala negara, termasuk di dalamnya pemerintah daerah. Dalam bahasa politik hukum, untuk presiden yang melanggar konstitusi, wajar jika dikenai impeachment. Namun, tentu ini tak bisa dilakukan sekarang karena pemerintahan Jokowi-JK baru mulai dan rezim sebelumnya telah berlalu.
Pertanyaannya, adakah perasaan bersalah bagi para pemerintah pendahulu Jokowi-JK? Hanya merekalah yang bisa menjawab.
Tapi, pasti rezim masa lalu berupaya akan selalu menghindar dari tanggung jawab ’’pelanggaran konstitusi’’ itu. Mengapa? Jawabannya sangat kultural sosiologis, yakni karena sudah dianggap biasa.
Ya…, biasa menyaksikan penderitaan banyak orang yang terus diabaikan dan mereka tak pernah protes. Atau, kalaupun protes, dianggap bagai angin yang berlalu. Sementara itu, para pejabat penyelenggara negara hidup mewah dengan berbagai fasilitas yang dibiayai dengan uang dari rakyat.
Rakyat miskin kerap diabaikan karena dianggap tak punya kontribusi secara ekonomi, bahkan mungkin dianggap sebagai beban sosial dan negara. Dan anehnya, kebanyakan masyarakat miskin itu terjebak dalam kultur ’’nrimo’’ dengan mempersepsikan pemerintah ’’serbabenar’’.
Tetapi, kultur ’’nrimo’’ ternyata hanya bisa bertahan di dalam masyarakat yang berada di wilayah-wilayah seperti Pulau Jawa dan atau kota-kota besar, atau di kampung-kampung yang masih bisa secara ketat tercengkeram para patron mereka. Nasionalisme bagi kelompok masyarakat miskin yang tak terlayani di wilayah-wilayah seperti itu tentu masih sangat kuat.