Pengamat: Bipolar Bursa Timah Bikin Bingung Pembeli
jpnn.com, JAKARTA - Timah merupakan komoditas strategis dan komoditi tambang ekspor unggulan Indonesia. Kebutuhan timah dunia berkisar 200.000 ton per tahun, dan Indonesia berkontribusi sebesar 40 persen atau sekitar 80.000 ton per tahun.
Tahun 2020, harga timah terus menurun sampai dibawah USD 15,000 per metric ton, harga ini lebih rendah USD 5,000 per metric ton dari sebelumnya, dan membuat Negara kehilangan pendapatan devisa sebesar USD 400,000,000 setara dengan IDR 5,6 triliun.
Kondisi demikian terjadi, oleh karena pada akhir tahun 2019, Menteri Perdagangan memerintahkan kepada BAPPEBTI untuk mengijinkan JFX (Jakarta Foreign Exchange) 3 ikut memperdagangkan timah, selain ICDX (Indonesia Commodity & Derivatives Exchange).
Muncul dua Bursa yang kemudian dinilai merusak (disrupsi) acuan harga dan menyebabkan terpuruk-nya timah. Dampaknya, perdagangan timah Indonesia melalui secondary market di Singapura meningkat tajam, naik sekitar 100% sepanjang semester I/2019 disebabkan oleh menurunnya kepercayaan pihak asing terhadap pasar Indonesia.
Peningkatan perdagangan melalui secondary market di Singapura tersebut, juga mengakibatkan meningkatnya country risk perdagangan timah murni batangan di Indonesia. Pelaku pasar timah, khususnya end user, lebih memilih pembelian timah asal Indonesia melalui Singapura karena Indonesia dinilai rendah dalam kepastian hukum terkait dengan perdagangan timah murni batangan.
Meningkatnya country risk tersebut, juga mendegradasi kedaulatan Indonesia dalam menentukan harga timah, dan menurunkan kepercayaan global terhadap Indonesia.
Investor Relation IPCC, Reza Priyambada menilai, turunnya harga timah karena menurunnya permintaan pasar. Mengingat timah merupakan bahan baku produksi.
"Saya melihatnya dari sisi supply & demand-nya. Timah ini kan bahan baku dari suatu produk, misal alat-alat elektronik," jelasnya saat dihubungi.