Pengamat: Penyerangan Pastor di Medan Bukan Di-setting Aparat
Dalam sehari memang keluar, tapi kemudian mengurung diri lagi di kamar. “ Itu adalah ciri-ciri bahwa dia terkontaminasi dengan hal-hal berbau radikal dan terorisme,” kata Wawan.
Wawan memang mengakui bahwa pengaruh radikalisme yang berasal dari internet adalah border lack (kurangnya pembatasan). “Itu adalah border lack dan agak sulit ditanggulangi. Selama ini setiap akun radikal yang ditutup, akan muncul lagi nama dan akun lain yang juga radikal. Selalu begitu,” kata Wawan.
Menurut Wawan, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) harus lebih progresif menutup akun-akun radikal itu dengan rekomendasi dari pihak berwenang seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
“Pemerintah sebaiknya jangan memberi peluang bagi akses radikal itu untuk tumbuh subur di kalangan generasi muda Indonesia. Begitu muncul, tutup lagi, muncul lagi, tutup lagi, begitu terus agar radikalisme tidak tidak bisa tumbuh subur,” imbuhnya.
“Yang repot kan karena mereka men-download konten-konten itu dari luar negeri. Maka pemerintah dalam hal ini Kemenkominfo harus proaktif menutup. Sebagai bangsa berdaulat, kita harus memproteksi diri,” kata Wawan.
Karena itu, menurut Wawan peran keluarga sebagai salah satu sarana proteksi dari pengaruh radikalisme sangat sentral dan penting. “Bagaimanapun juga, keluarga adalah orang terdekat bagi anak. Keluarga lah yang harus terus mengawasi gerak gerik sehari-hari dari putra putri mereka,” ujarnya.
“Orang tua harus aktif mengontrol pemakaian internet dan gadget anak-anak mereka agar terhindar dari konten radikal. Jika anak terpapar radikalisme dari internet, maka itu adalah kesalahan orang tua. Karena pada dasarnya anak-anak yang terpapar beum cukup matang dalam bertindak dan itu membutuhkan peran orang tua,” kata Wawan. (jos/jpnn)