Pengampunan Presiden
Oleh Dahlan Iskanjpnn.com - LIMA hari sebelum pilpres sekarang ini suasana kebatinan di Amerika Serikat sudah seperti Donald Trump pasti kalah.
Agenda pembicaraan media di sana sudah fokus pada apa yang akan dilakukan Trump setelah kalah. Media sudah membayangkan kegilaan-kegilaan Trump pasca kekalahan itu.
Di Amerika jarak antara pilpres dan pelantikan pemenangnya memang cukup lama: 2 bulan 17 hari. Apa saja bisa terjadi pada jarak 76 hari itu.
Itu berbeda dengan di Inggris: hari itu hasil pemilu diumumkan hari itu juga serah terima jabatan perdana menteri.
Di Amerika presiden yang kalah masih tetap presiden. Apalagi Trump sudah sering menegaskan bahwa secara konstitusi ia adalah presiden Amerika Serikat dengan masa jabatan 4 tahun. Tidak kurang dari itu –biarpun kurang 76 hari.
Dengan alasan itulah mengapa Trump tetap memproses calon hakim agung di saat jutaan pemilih sudah mulai mencoblos kartu suara. Padahal begitu banyak yang meminta biarlah proses itu dilakukan presiden terpilih –siapa pun yang terpilih.
Saya ingat di hari-hari akhir masa jabatan Presiden SBY. Bahkan sejak masih mendekati pilpres. Para menteri dilarang mengambil keputusan penting.
Dasarnya ialah sopan-santun politik. Jangan sampai ada keputusan yang membebani presiden berikutnya.